Memilih Kotak Kosong, Perlawanan kepada Calon Kepala Daerah Yang Sombong, dan Angkuh

0

MoneyTalk, Jakarta – Fenomena calon tunggal dalam Pilkada 2024 kembali mengemuka setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Salah satu implikasi dari putusan tersebut adalah munculnya pilihan “Kotak Kosong” di 41 daerah pemilihan, termasuk Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

 

Bernardus, Ketua Umum Dewan Rakyat Dayak dan tokoh pemuda asal Bengkayang, mengungkapkan bahwa memilih “Kotak Kosong” dalam Pilkada menyiratkan rasa pesimis terhadap kandidat tunggal yang bertarung.

Logika di Balik Pilihan Kotak Kosong
sebenarnya mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap calon tunggal yang tersedia.

Ini menjadi semacam perlawanan simbolis, karena calon kepala daerah tersebut sombong dan angkuh merasa gagah bisa “membeli” semua partai. meskipun risiko di balik pilihan ini cukup besar,” ujar Bernardus saat dihubungi pada Sabtu (21/09).

Selanjutnyaa memilih “Kotak Kosong” bukan hanya tindakan protes, melainkan juga cerminan kekecewaan dan pesimisme terhadap proses politik dan kandidat yang ada, tambah Bernardus.

Aturan Jika Kotak Kosong Menang
Dalam aturan yang diatur oleh Pasal 54D UU No. 10 Tahun 2016, jika “Kotak Kosong” menang melawan calon tunggal, Pilkada akan diulang setahun kemudian pada 2025.

Sebelum pemilihan ulang, daerah tersebut akan dipimpin oleh seorang penjabat (Pj) yang ditunjuk oleh pemerintah, baik gubernur, bupati, atau wali kota. Ini menambah lapisan ketidakpastian dalam kepemimpinan dan pembangunan daerah.

Kerugian Memilih Kotak Kosong
Bernardus menggarisbawahi beberapa kerugian memilih “Kotak Kosong”, salah satunya adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk Pilkada ulang.

“Dalam situasi ekonomi yang sulit, mengulang Pilkada jelas membebani keuangan negara. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan daerah akan terserap untuk pemilihan ulang,” jelas Bernardus

Selain itu, kepemimpinan sementara oleh Pj bisa membawa risiko tersendatnya pembangunan, dan bisa mengambil keputusan yang strategis.

“Seorang Pj yang tidak mengenal kultur dan kebutuhan lokal bisa membuat aspirasi masyarakat tidak terakomodasi dengan baik, menyebabkan pembangunan berjalan di tempat,” tambahnya.

Menimbang Pilihan, Menghadapi Pesimisme Memilih “Kotak Kosong” dalam Pilkada merupakan pilihan yang sah, tetapi konsekuensinya harus dipahami oleh masyarakat.

“Memilih ‘Kotak Kosong’ seakan menyumbangkan rasa pesimis, tapi itu juga hak yang harus dihargai. Tantangan utamanya adalah memastikan masyarakat terlibat aktif dalam proses politik untuk mendorong perubahan nyata, bukan hanya sekadar protes,” tutup Bernardus.

Dengan demikian, pilihan “Kotak Kosong” bukan hanya soal ketidaksetujuan terhadap calon yang ada, tapi juga refleksi dari harapan akan perubahan yang lebih baik dalam sistem demokrasi lokal.(c@kra)

Leave A Reply

Your email address will not be published.