Wamentan Kurang Percaya Diri dalam Program Cetak Sawah, Tanda Perlu Strategi yang Lebih Terukur
MoneyTalk, Jakarta – Usulan Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono kepada Australia untuk mendukung pengelolaan lahan rawa seluas 2 juta hektare dalam program cetak sawah memunculkan pertanyaan mengenai kepercayaan diri pemerintah dalam menjalankan program swasembada pangan. Terlepas dari optimisme yang disampaikan, langkah meminta bantuan negara lain justru dapat menunjukkan adanya kelemahan atau ketidaksiapan pemerintah dalam menjalankan proyek besar ini secara mandiri.
Sudaryono menyatakan bahwa Australia adalah negara strategis bagi Indonesia, baik dari segi fungsi maupun peran. Namun, fakta bahwa dukungan ini menjadi salah satu pilar penting bagi suksesnya cetak sawah menimbulkan kekhawatiran. Apakah Kementerian Pertanian (Kementan) belum cukup percaya diri dengan kemampuan dalam negeri untuk mengolah lahan yang begitu luas tanpa bantuan teknologi dan pengetahuan luar?
Hal itu ia sampaikan saat Duta Besar Australia untuk Indonesia, Penny Williams datang ke Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu, 25 September 2024. Bagi Sudaryono, Australia punya posisi strategis untuk Indonesia dalam bidang pertanian.
“Australia adalah negara yang strategis bagi Indonesia, baik secara fungsi, peran, maupun letak geografisnya. Dengan dukungan ini, diharapkan hubungan antara kedua negara akan semakin produktif dan berkelanjutan di sektor pertanian,“ ujarnya dalam keterangan tertulis.
Keberhasilan swasembada pangan seharusnya mengandalkan kemampuan internal negara, mulai dari petani hingga teknologi lokal. Bila pada setiap tantangan besar selalu melibatkan bantuan dari negara lain, maka program yang bertujuan mencapai kemandirian pangan bisa terkesan rapuh.
Sejak era Presiden Joko Widodo, program cetak sawah di lahan rawa sudah dijalankan dengan berbagai tantangan. Kritikus berpendapat bahwa banyak program besar yang diluncurkan tanpa kesiapan infrastruktur dan teknologi lokal yang memadai. Di Merauke, misalnya, meskipun proyek ini dijadikan sebagai salah satu program strategis nasional, realisasinya masih jauh dari harapan. Banyak lahan cetak sawah yang tidak produktif karena masalah teknis, seperti drainase dan kualitas tanah.
Sudaryono meminta dukungan dari Australia dalam bentuk teknologi pertanian, pelatihan, serta penelitian yang lebih terfokus. Dukungan ini diharapkan mampu menyelesaikan masalah-masalah teknis yang sering kali menjadi batu sandungan dalam program cetak sawah. Namun, penting dicatat bahwa kebergantungan pada negara lain dalam menyediakan solusi ini bisa menjadi indikasi bahwa pemerintah belum mampu menyelesaikan masalah-masalah dasar tersebut secara mandiri.
Kritik utama dalam upaya mengurangi ketergantungan pada bantuan luar negeri adalah perlunya penguatan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi dalam negeri. Melibatkan Australia bisa menjadi solusi jangka pendek, namun, jika Indonesia ingin benar-benar mandiri dalam ketahanan pangan, fokus harus diarahkan pada pengembangan teknologi lokal dan pemberdayaan petani.
Dalam jangka panjang, peningkatan kapasitas teknologi dan penelitian dalam negeri akan lebih berkelanjutan dan dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih kompetitif di sektor pertanian global. Tanpa penguatan kapasitas lokal, program seperti cetak sawah hanya akan bergantung pada bantuan asing, yang dalam jangka panjang bisa merugikan kedaulatan pangan negara.
Keputusan Sudaryono untuk meminta bantuan Australia dalam program cetak sawah seharusnya menjadi titik refleksi bagi Kementan untuk lebih percaya diri dalam memanfaatkan potensi dan keahlian dalam negeri. Pengembangan teknologi, infrastruktur, dan sumber daya manusia di sektor pertanian perlu diperkuat, sehingga swasembada pangan dapat benar-benar diwujudkan tanpa ketergantungan pada bantuan luar negeri.(c@kra)