Arteria Rela Jadi ‘Joki Politik’ Tuannya?
MoneyTalk, Jakarta – Baru-baru ini politisi PDI-P, Arteria Dahlan, mengungkapkan keputusannya yang kontroversial dalam sebuah konferensi pers di Komplek Senayan, Senin (30/09). Dalam pernyataannya, Arteria mengaku rela menyerahkan kursi DPR RI yang ia peroleh dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur VI kepada Romy Soekarno, cucu dari proklamator Indonesia, Soekarno. Keputusan ini menuai perdebatan di kalangan publik dan memunculkan pertanyaan. Apakah Arteria bertindak sebagai “joki politik” untuk kepentingan elite keluarga besar Bung Karno?
Arteria yang merupakan loyalis PDI Perjuangan ini dikenal sebagai tokoh dengan suara tinggi di Dapil Jawa Timur VI. Ia menyatakan bahwa ia rela mengundurkan diri demi memberi jalan kepada Romy Soekarno untuk duduk di kursi DPR.
“Saya ini bisa seperti ini karena Ibu Mega dan keluarga besar Bung Karno. Sudah saatnya saya membalas budi,” ujar Arteria.
Ia menekankan bahwa keputusan tersebut adalah bentuk rasa hormat dan balas budi kepada keluarga Bung Karno. Terutama kepada Megawati Soekarnoputri, yang ia anggap sebagai figur ibu politiknya.
Pernyataan Arteria bahwa menyerahkan kursi DPR kepada Romy merupakan bentuk balas budi memunculkan aneka persepsi. Publik menilai dirinya bersedia “berkorban” demi menjaga loyalitasnya kepada keluarga besar Bung Karno. Dalam politik, praktik semacam ini seringkali dipandang sebagai upaya mengokohkan kedudukan dinasti politik tertentu. Misalnya dengan mengorbankan tokoh-tokoh yang sebenarnya memiliki kekuatan elektoral yang lebih tinggi.
Namun, dalam kasus ini, Arteria mengaku bahwa keputusan tersebut diambil secara sukarela dan tanpa tekanan. Ia bahkan menegaskan bahwa baginya, “melayani keluarga besar Bung Karno adalah suatu kemuliaan”. Bagi Arteria jabatan di DPR tidak lagi menjadi prioritas utamanya. Keputusannya ini dinilai sebagai wujud kesetiaan dan loyalitas terhadap sejarah panjang PDI Perjuangan dan keluarga besar Soekarno.
Langkah Arteria untuk menyerahkan kursinya tentu saja mencerminkan dinamika politik internal PDI Perjuangan yang masih sangat dipengaruhi oleh kedekatan dengan keluarga besar Soekarno. Bagi sebagian pengamat, ini bisa dilihat sebagai bentuk subordinasi politik. Di mana tokoh-tokoh yang berprestasi elektoral harus rela memberikan posisinya kepada anggota keluarga elite partai. Namun, dari sudut pandang Arteria, loyalitas kepada keluarga Soekarno tampaknya lebih penting daripada ambisi politik pribadi.
“Bagi saya, kekuasaan di DPR ini tidak seberapa. Bagi saya, melayani keluarga besar Bung Karno adalah suatu kemuliaan,” katanya.
Sikap ini sekaligus mengirimkan pesan bahwa di dalam tubuh PDI Perjuangan, kesetiaan dan penghormatan kepada garis keturunan Soekarno tetap menjadi nilai yang dijunjung tinggi.
Keputusan Arteria tentu menuai beragam reaksi dari masyarakat. Di satu sisi ada yang melihatnya sebagai bentuk pengabdian yang tulus. Namun, di sisi lain tidak sedikit yang mempertanyakan apakah tindakan ini sebenarnya adalah bentuk penundukan diri terhadap dinasti politik yang kian mengakar di Indonesia. Fenomena ini juga memunculkan perdebatan lebih luas tentang praktik politik dinasti di Tanah Air. Kekuasaan dan kesempatan politik lebih sering diwariskan kepada anggota keluarga elite daripada berdasarkan prestasi dan meritokrasi.
Tantangan ke depan bagi Arteria adalah bagaimana ia menjaga reputasi politiknya sebagai tokoh yang kuat, namun tetap loyal terhadap partai dan ideologi yang ia junjung. Sementara bagi PDI Perjuangan, dinamika ini menjadi cermin bahwa kendali elite politik dalam menentukan posisi strategis di parlemen masih sangat dominan. Meskipun, hal tersebut bisa memicu kritik tentang bagaimana regenerasi kader di dalam partai seharusnya berjalan.
Apakah Arteria benar-benar rela menjadi “joki politik”, ataukah ini adalah bentuk loyalitas sejati terhadap keluarga besar Bung Karno? Keputusan tersebut menempatkan Arteria di persimpangan jalan antara menjaga nama baik partai dan mempertahankan nilai-nilai loyalitas dalam politik. Di tengah sorotan publik, langkah ini tentu saja membuka perbincangan tentang peran dinasti politik dalam demokrasi Indonesia dan bagaimana keseimbangan antara loyalitas dan kompetensi elektoral seharusnya dijaga.(c@kra)