MoneyTalk, Jakarta – Pengamat politik Fachry Ali dalam kanal YouTube-nya pada Jumat (04/10) mengungkapkan pandangannya tentang perbandingan sirkulasi elite antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia menyatakan bahwa sirkulasi kepemimpinan di PBNU jauh lebih tinggi frekuensinya dibandingkan dengan PKB. Dalam konteks ini, ada dua pertanyaan kunci yang perlu diajukan: mana yang lebih demokratis, PBNU atau PKB? Dan apa yang diperoleh pengurus PBNU dibandingkan dengan para aktivis PKB dalam hal reward politik?
Fachry Ali berpendapat bahwa kita tidak perlu bersikap terlalu akademis dengan menyusun kriteria dan memberikan skor untuk membandingkan dua organisasi tersebut. Sebagai gantinya, ia mengajukan pertanyaan yang lebih sederhana. Selama kepemimpinan Muhaimin Iskandar di PKB, yang dimulai pada 2005 dan berlanjut hingga 2024, berapa banyak ketua umum yang telah memimpin PBNU?
Fachry menjelaskan bahwa selama periode kepemimpinan Muhaimin Iskandar, tidak ada pergantian ketua umum di PKB, yang menunjukkan sifat statis dari partai tersebut. Sementara itu, PBNU telah mengalami beberapa pergantian kepemimpinan, dimulai dengan Kiai Hasyim Muzadi, diikuti oleh Kiai Said Aqil Siraj, dan saat ini dipimpin oleh Kiai Yahya. Fakta ini menunjukkan bahwa sirkulasi elite di PBNU jauh lebih aktif dibandingkan dengan PKB.
Jika Muhaimin Iskandar terpilih kembali pada 2024, maka ia akan memimpin PKB selama 24 tahun, yang berarti hampir seperempat abad. Di sisi lain, meskipun para ketua umum PBNU terpilih selama dua periode, durasi kepemimpinan mereka masih kalah dibandingkan dengan Muhaimin. Dari sini, Fachry menyimpulkan bahwa PBNU lebih demokratis daripada PKB, meskipun secara teoritis PKB seharusnya memiliki sistem yang lebih demokratis.
Indikasi dari sistem dan praktik politik yang bersifat demokratis tidak hanya ditandai oleh adanya muktamar setiap lima tahun, tetapi juga oleh adanya sirkulasi elite dan rotasi kepemimpinan. Seorang pemimpin yang tidak mampu melahirkan pemimpin baru dianggap gagal. Dalam konteks ini, Fachry menegaskan bahwa PBNU menunjukkan praktik demokrasi yang lebih baik dibandingkan PKB.
Fachry Ali berfokus pada apa yang diperoleh pengurus PBNU dibandingkan dengan anggota PKB yang aktif di tingkat pusat dan daerah. Sementara anggota PKB sering kali mendapatkan reward politik, seperti jabatan anggota DPR, menteri, atau gubernur, pengurus PBNU tidak menerima imbalan serupa dalam hal kekuasaan dan materi.
Di PBNU, pengurus cenderung tidak mendapatkan hasil yang bersifat timbal balik secara material. Mereka sering diserukan untuk melakukan aktivitas yang bersifat “lillahi ta’ala,” yaitu murni untuk kepentingan Allah. Keikhlasan inilah yang menjadi ciri khas bagi mereka yang aktif di PBNU, meskipun dalam konteks dunia, mereka tidak meraih keuntungan material yang sama seperti yang diperoleh oleh anggota PKB.
Fachry juga menyoroti bagaimana masyarakat Nahdiyin, yang secara teoritis diayomi oleh PBNU, kini semakin terpelajar dan memiliki kesadaran yang lebih tinggi. Mereka tidak lagi tergantung sepenuhnya pada PBNU, dan hal ini menciptakan dinamika baru dalam hubungan antara PBNU dan Nahdiyin. Masyarakat Nahdiyin kini mampu mengkritisi posisi PBNU dan melihatnya dari sudut pandang yang lebih independen.
Fachry Ali juga mempertanyakan, apa kontribusi PKB terhadap masyarakat Nahdiyin yang jumlahnya mencapai sekitar 90 juta jiwa? Jika PBNU berhasil menciptakan kaum Nahdiyin yang sadar akan hak dan kewajiban mereka, apakah PKB hanya mengandalkan dukungan politik dari mereka tanpa memberikan kontribusi yang signifikan?
Dalam refleksi yang lebih mendalam, Fachry mengajak kita untuk merenungkan hubungan antara PBNU dan PKB. Sementara PBNU memberikan sumbangan intelektual dan kepemimpinan kepada masyarakat Nahdiyin, tidak terlihat adanya sumbangan yang seimbang dari PKB terhadap masyarakat tersebut.
Dalam pandangan Fachry Ali, jelas terlihat bahwa sirkulasi elite di PBNU jauh lebih aktif, dan sistem demokrasi yang diterapkan di organisasi ini lebih baik dibandingkan dengan PKB. Di tengah tantangan politik yang terus berkembang, penting bagi kedua organisasi ini untuk memahami peran masing-masing dalam konteks masyarakat dan bagaimana mereka dapat berkontribusi secara lebih efektif untuk kepentingan rakyat.
Kondisi ini membawa suasana pada pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika kepemimpinan dan demokrasi di Indonesia, serta tantangan yang dihadapi oleh organisasi-organisasi yang berakar pada tradisi dan keagamaan seperti PBNU dan PKB.(c@kra)