MoneyTalk, Jakarta – Pada Jumat (18/10), Achmad Nur Hidayat, seorang ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, mengemukakan kritik tajam terhadap Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2024 yang memberikan jaminan kesehatan kepada mantan menteri dan keluarganya yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ia menegaskan bahwa kebijakan ini mencerminkan ketidakadilan dalam alokasi anggaran negara, melanggar prinsip kesetaraan, serta mengabaikan keadilan sosial dalam penggunaan sumber daya publik. Menurut Hidayat, kebijakan tersebut tidak hanya memberatkan anggaran negara, tetapi juga berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Artikel ini akan menjelaskan secara rinci enam alasan utama mengapa kebijakan jaminan kesehatan bagi mantan menteri harus segera dihentikan.
Salah satu argumen terkuat melawan kebijakan ini adalah ketidakadilan dalam alokasi anggaran. Para menteri dan pejabat tinggi sudah tergolong dalam kelompok elite, yang selama masa jabatannya menikmati berbagai tunjangan, fasilitas, dan asuransi kesehatan yang baik. Di sisi lain, mayoritas rakyat Indonesia terutama kelas menengah ke bawah, kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar yang layak.
Keputusan untuk memberikan jaminan kesehatan kepada mantan pejabat yang secara ekonomi sudah mapan, sementara jutaan rakyat masih berjuang mendapatkan perawatan kesehatan yang layak, sangat tidak seimbang. Seharusnya, prioritas utama pemerintah adalah mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki layanan kesehatan publik, memperluas cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan meningkatkan fasilitas kesehatan di daerah terpencil.
Mengalihkan sumber daya negara untuk kepentingan mantan pejabat yang tidak lagi aktif hanya memperlebar jurang ketimpangan sosial antara rakyat biasa dan para elit yang seharusnya memimpin dengan tanggung jawab sosial.
Di tengah situasi ekonomi yang belum stabil, menambahkan beban baru kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan jaminan kesehatan bagi mantan menteri adalah kebijakan yang tidak bijaksana. APBN sudah terbebani oleh berbagai program sosial, seperti subsidi energi, bantuan sosial, serta investasi di bidang infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Dengan adanya beban baru ini, APBN berpotensi menghadapi defisit yang lebih besar, memperbesar utang publik, dan membebani generasi mendatang. Kebijakan seperti ini hanya akan memperburuk kondisi ekonomi Indonesia dalam jangka panjang, mengingat kebutuhan belanja negara yang semakin meningkat tanpa adanya tambahan pemasukan yang seimbang.
Kebijakan ini juga melanggar prinsip keadilan sosial, yang seharusnya menjadi dasar kebijakan publik. Jaminan kesehatan gratis bagi mantan menteri dan keluarganya memberikan keuntungan eksklusif kepada segelintir elit yang sebenarnya mampu membiayai sendiri kebutuhan kesehatannya.
Banyak warga Indonesia yang belum terjangkau oleh BPJS atau layanan kesehatan serupa, sehingga kebijakan ini semakin menegaskan ketimpangan antara rakyat yang harus berjuang membayar layanan kesehatan dan para mantan pejabat yang mendapat layanan gratis. Ini menciptakan kesan bahwa negara lebih mengutamakan elit daripada memperbaiki kualitas hidup masyarakat luas.
Potensi penyalahgunaan dalam kebijakan jaminan kesehatan ini sangat besar. Tanpa adanya pengawasan ketat, fasilitas yang dibiayai oleh APBN dapat disalahgunakan oleh mantan menteri atau keluarganya, yang mungkin memanfaatkan jaminan ini di luar kebutuhan medis yang wajar. Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan penggunaan dana publik seringkali lemah, membuka peluang bagi ekses penggunaan fasilitas ini.
Selain itu, tanpa transparansi yang memadai, publik tidak akan tahu bagaimana dana ini digunakan atau siapa yang benar-benar mendapatkan manfaat dari kebijakan ini. Ini berisiko menambah lapisan kompleksitas dalam pengelolaan anggaran negara, yang justru seharusnya lebih difokuskan pada kepentingan masyarakat luas.
Penerapan kebijakan ini menandakan bahwa pemerintah memiliki prioritas anggaran yang salah. Ketika program-program publik yang lebih penting seperti pendidikan, infrastruktur kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi membutuhkan pendanaan, alokasi anggaran justru diberikan untuk memberikan layanan eksklusif kepada mantan pejabat yang sebenarnya mampu membiayai kebutuhan kesehatan mereka sendiri.
Dengan kondisi sosial-ekonomi yang menantang, pengelolaan APBN harus lebih selektif dan difokuskan pada kepentingan yang lebih luas. Memberikan jaminan kesehatan kepada elit politik bukanlah prioritas yang tepat di tengah kebutuhan rakyat yang jauh lebih mendesak.
Terakhir, kebijakan ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di saat masyarakat mengalami kesulitan ekonomi dan menghadapi akses kesehatan yang terbatas, melihat para mantan pejabat menerima layanan kesehatan gratis dari negara hanya akan memperdalam rasa ketidakadilan di masyarakat. Ini dapat memicu ketidakpuasan publik dan memperburuk hubungan antara rakyat dan pemerintah.
Kepercayaan publik adalah elemen kunci untuk menjaga stabilitas sosial dan politik. Dengan menerapkan kebijakan yang memprioritaskan elit, pemerintah berisiko kehilangan dukungan dari rakyat. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih inklusif dan adil harus diutamakan untuk membangun kepercayaan publik yang lebih baik.
Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2024 yang memberikan jaminan kesehatan bagi mantan menteri dan keluarganya dibiayai oleh APBN adalah kebijakan yang mencerminkan ketidakadilan, pemborosan anggaran, serta pelanggaran prinsip keadilan sosial.
Di tengah kesulitan yang dihadapi masyarakat luas, kebijakan ini harus ditinjau ulang dan bahkan dibatalkan untuk memastikan bahwa anggaran negara digunakan secara lebih bijaksana, adil, dan efisien. Pemerintah harus memprioritaskan kepentingan rakyat, bukan elit politik, untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan anggaran negara.(c@kra)