Megawati Narsistik Leadership Syndrome, Fenomena Kepemimpinan di Indonesia

  • Bagikan
Kode Keras Prabowo untuk Megawati dan PDI Perjuangan
Kode Keras Prabowo untuk Megawati dan PDI Perjuangan

MoneyTalk, Jakarta – Istilah “narsistik leadership syndrome” muncul dalam diskusi politik di Indonesia ketika seorang politisi, Laksamana Sukardi, mengungkapkan karakteristik kepemimpinan yang ia lihat pada Megawati Soekarnoputri dalam sebuah podcast Total Politik pada 21 Oktober 2024. Pernyataan ini bukan sekadar kritik biasa, melainkan refleksi atas bagaimana gaya kepemimpinan Megawati yang dianggap otoriter dan sulit beranjak dari peristiwa masa lalu memengaruhi dinamika politik internal partai dan bangsa.

Narsistik leadership syndrome merupakan fenomena di mana seorang pemimpin cenderung menempatkan dirinya sebagai pusat dari segala keputusan, sering kali tanpa menerima kritik atau masukan dari pihak lain. Dalam konteks Megawati Soekarnoputri, Laksamana Sukardi menyoroti bagaimana Megawati tampaknya kesulitan untuk “move on” dari hubungan politik masa lalu, baik dengan SBY maupun Jokowi. Hubungan tersebut tidak hanya diwarnai oleh persaingan, tetapi juga ketidakmampuan untuk menerima perbedaan perspektif dan kepentingan politik.

Seorang pemimpin yang terjebak dalam narsistik leadership cenderung merasa bahwa dirinya adalah satu-satunya sumber kebenaran, dan keputusan-keputusan partai atau pemerintahan harus tunduk pada kehendaknya. Hal ini memperkuat pola sentralisasi kekuasaan, yang dalam jangka panjang dapat memperlemah struktur demokrasi dan merugikan organisasi atau negara.

Laksamana Sukardi menyatakan bahwa PDIP, di bawah kepemimpinan Megawati, memiliki struktur organisasi yang sangat terpusat, mirip dengan pemerintahan feodal. Dalam struktur ini, pemimpin dianggap tidak bisa salah dan tidak ada yang berani memberikan kritik terbuka. Sukardi juga menyinggung bahwa PDIP sering lebih fokus pada dinamika internal ketimbang kondisi eksternal, yang mencerminkan partai dengan orientasi inward-looking.

Kepemimpinan Megawati digambarkan sebagai “one man show” di mana kekuasaan terkonsentrasi hanya pada satu orang. Pola ini telah membawa konsekuensi pada pengambilan keputusan, termasuk dalam menentukan kader-kader kunci dalam partai. Dalam situasi ini, loyalitas bukan lagi didasarkan pada kesetiaan ideologis atau visi, tetapi lebih pada pertimbangan pragmatis terkait hubungan kekuasaan dan peluang politik.

Dampak dari narsistik leadership ini tidak hanya dirasakan oleh para politisi senior, tetapi juga kader-kader muda dalam partai. Beberapa kader muda yang lebih progresif, seperti Puan Maharani atau Budiman Sudjatmiko, tampaknya mencoba membawa ide-ide baru, namun ruang gerak mereka dibatasi oleh kepemimpinan yang sentralistik. Kader muda ini sering kali mengalami dilema antara menghormati kepemimpinan senior dan keinginan untuk membawa perubahan.

Laksamana Sukardi menekankan, meski kader muda di PDIP mulai menunjukkan pemikiran yang lebih progresif, kendali utama masih ada di tangan Megawati. PDIP sebagai partai dengan massa yang militan, terutama generasi tua yang sangat setia pada Megawati, memperkuat fenomena narsistik leadership ini. Loyalitas bukan semata karena kesamaan visi, tetapi lebih pada keyakinan bahwa rezeki dan masa depan politik mereka bergantung pada Megawati sebagai pemimpin tunggal.

Narsistik leadership syndrome seperti yang ditunjukkan dalam kepemimpinan Megawati dapat berakibat serius bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Salah satu implikasi terbesarnya adalah minimnya ruang untuk oposisi internal yang sehat.

Demokrasi yang ideal memerlukan adanya oposisi yang kuat dan terlembaga untuk mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, dalam sistem di mana kepemimpinan sangat tersentralisasi, oposisi internal sering kali dibungkam atau dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai sumber masukan yang konstruktif.

Laksamana Sukardi menggarisbawahi pentingnya pembentukan oposisi yang terlembaga, seperti dalam sistem Westminster di negara-negara dengan demokrasi mapan. Oposisi yang kuat dan bersih akan mampu menjaga keseimbangan kekuasaan, memastikan pemerintahan berjalan dengan transparan, dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Namun, dalam kondisi di mana tidak ada oposisi yang efektif, seperti yang terjadi ketika semua partai bergabung dalam koalisi besar, kontrol terhadap kekuasaan menjadi sangat lemah, dan potensi korupsi yang masif tidak bisa dihindar.

Menariknya, Sukardi juga menghubungkan narsistik leadership ini dengan situasi politik Prabowo Subianto yang dianggap meniru gaya pemerintahan Jokowi untuk memastikan jalannya pemerintahan yang lancar. Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana oposisi di Indonesia dapat dibentuk kembali dengan kekuatan yang memadai. Sukardi berharap PDIP tetap menjadi oposisi agar mereka bisa bersih-bersih dan melakukan evaluasi terhadap diri mereka sendiri.

Oposisi yang kuat tidak hanya penting untuk keseimbangan kekuasaan, tetapi juga bagi kelangsungan demokrasi itu sendiri. Dengan adanya oposisi yang berfungsi secara efektif, partai-partai akan lebih berhati-hati dalam menjalankan kebijakan dan program mereka, karena ada pihak lain yang terus mengawasi dan memberikan kritik.

Megawati narsistik leadership syndrome yang diungkapkan oleh Laksamana Sukardi memberikan gambaran tentang kepemimpinan yang sentralistik dan otoriter, yang dapat mengancam perkembangan demokrasi di Indonesia. Sentralisasi kekuasaan dalam satu orang pemimpin melemahkan struktur demokrasi partai dan menciptakan loyalitas yang pragmatis, bukan ideologis. Penting bagi Indonesia untuk memperkuat oposisi dan memperbaiki sistem politiknya agar demokrasi tetap berjalan sehat dan efektif.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *