MoneyTalk, Jakarta – Dalam pidato pelantikannya, Presiden Prabowo Subianto secara halus, tetapi penuh makna, menyampaikan kritik terselubung terhadap pendahulunya, Joko Widodo (Jokowi). Ia memberikan sejumlah kode untuk Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan (PDIP).
Pidato ini menarik perhatian publik, termasuk Arief Budiman, Chief Political Officer di Political Strategy Group. Ia memberikan beberapa catatan penting terkait pesan-pesan tersirat dalam pidato Prabowo, termasuk susunan kabinetnya.
Kritik Tersirat untuk Jokowi
Dalam salah satu segmen pidatonya, Prabowo menggarisbawahi pentingnya menghindari “kekosongan momentum” dalam pemerintahan. Hal ini bisa diartikan sebagai pesan agar kesinambungan dan stabilitas tetap terjaga. Sebuah isu yang sering disoroti selama masa transisi antara pemerintahan Jokowi ke Prabowo. Arief Budiman mengungkapkan bahwa Prabowo tampaknya sangat berhati-hati dalam memastikan tidak ada jeda panjang yang dapat merusak stabilitas. Bahkan ketika sudah ada jeda yang cukup signifikan dari 14 Februari hingga 20 Oktober. Bagi Prabowo, stabilitas dan kesinambungan menjadi prioritas, sesuatu yang mungkin dianggapnya belum sepenuhnya terjaga dalam transisi sebelumnya.
Pesan untuk Megawati dan PDIP
Selain kritik terhadap Jokowi, Prabowo juga memberikan kode-kode kuat untuk Megawati dan PDIP. Salah satu yang mencolok adalah tidak adanya keterwakilan resmi dari PDIP dalam kabinet Prabowo, walaupun ada beberapa figur yang secara tidak langsung memiliki koneksi dengan partai tersebut. Arief mencatat, “Secara formal, PDIP memang tidak ada dalam kabinet, tetapi ada beberapa sosok yang bisa dianggap sebagai proxy partai, seperti seorang purnawirawan yang menikah dengan keluarga besar Puan Maharani.” Namun, Arief menekankan bahwa keterlibatan tersebut tidak secara resmi mewakili PDIP, menegaskan jarak politik antara Prabowo dan PDIP.
Kabinet yang ‘Gemuk’ dan Efek Psikologisnya
Salah satu perhatian utama dalam pidato Prabowo adalah kabinet yang dinilai ‘gemuk’ dengan banyak anggota. Menurut Arief Budiman, komposisi ini mengundang persepsi bahwa kabinet terlalu berorientasi pada bagi-bagi kekuasaan. Ia menjelaskan, “Kabinet yang terlihat besar ini menambah efek psikologis bagi publik, terutama karena Prabowo mengakomodasi banyak kelompok. Kesannya jadi seolah-olah ada pembagian kekuasaan berlebihan, meski sebenarnya juga bertujuan untuk menjaga persatuan di pemerintahan.”
Arief juga menyoroti bahwa ini adalah bentuk diskresi Prabowo sebagai presiden yang ingin menciptakan struktur kekuasaan yang mampu mewujudkan visi dan target-targetnya. Dalam pandangan Prabowo, struktur kabinet yang besar ini justru bisa menjadi instrumen efektif dalam menjalankan program-program pemerintahan. Arief menguraikan bahwa Prabowo seolah ingin menjadikan setiap persoalan penting dalam pemerintahan sebagai urusan langsung Presiden, agar persoalan-persoalan tersebut lebih mudah diidentifikasi dan diselesaikan.
Menjaga Persatuan dan Menambah Kualitas Kebijakan Publik
Tiga alasan utama yang menjadi landasan Prabowo dalam menyusun kabinet ini, menurut Arief, adalah menjaga momentum, membangun persatuan, dan meningkatkan kualitas kebijakan publik. Dengan melibatkan banyak pihak di kabinet, Prabowo berharap dapat mengurangi polarisasi yang ada. Arief menambahkan, “Prabowo seolah ingin menggabungkan semua kekuatan, bahkan partai-partai yang tidak lolos ke parlemen pun diberi posisi.”
Langkah ini, meskipun berisiko disalahartikan sebagai bagi-bagi kekuasaan, sebenarnya bertujuan untuk menyatukan berbagai kepentingan politik di bawah satu payung pemerintahan. Selain itu, dengan membawa beberapa urusan strategis ke level presiden, seperti pembangunan infrastruktur dan transmigrasi, Prabowo ingin memastikan bahwa persoalan-persoalan yang biasanya terabaikan dapat terangkat dan teratasi.
Tantangan di Balik Kabinet ‘Gemuk’
Tantangan besar tetap menanti Prabowo. Menggabungkan berbagai kelompok di kabinet bisa menjadi bumerang apabila tidak dikelola dengan baik. Arief Budiman menekankan bahwa salah satu tantangan besar Prabowo adalah menjaga kedisiplinan para menterinya yang mungkin memiliki kepentingan politik berbeda. Ia menyoroti pentingnya peran birokrasi dalam mendampingi para menteri yang diangkat dari latar belakang politik agar mereka dapat memahami dan menjalankan tugasnya dengan baik.
Dalam catatan Political Strategy Group
Arief menegaskan bahwa kabinet ini akan diuji efektivitasnya dalam waktu sekitar satu tahun, hingga strategi pembangunan nasional benar-benar berjalan sesuai rencana. Penilaian yang lebih konkret atas kabinet ini akan dapat dilakukan pada anggaran tahun 2026 dan pidato keuangan presiden di Agustus 2025, yang akan memberikan gambaran lebih jelas mengenai efektivitas struktur kabinet saat ini.
Kritik Publik, Meritokrasi yang Terabaikan?
Selain tantangan birokrasi, kritik lain dari masyarakat sipil adalah bahwa kabinet ini tidak sepenuhnya berbasis meritokrasi. Beberapa posisi dinilai hanya diberikan kepada orang-orang yang mendukung Prabowo selama kampanye, tanpa memperhatikan keahlian mereka dalam bidang tersebut. Arief mengutip karya Tom Nichols, The Death of Expertise, sebagai referensi tentang fenomena menghilangnya meritokrasi dalam birokrasi modern. Arief mengingatkan bahwa di era di mana tantangan global semakin kompleks, pemerintah perlu menempatkan orang yang tepat di posisi yang sesuai agar kebijakan publik dapat berjalan efektif.
Dengan langkah-langkahnya, Prabowo tampak ingin membangun pemerintahan yang solid namun penuh tantangan, terutama dengan kode-kode politik yang diberikan kepada Megawati dan PDIP. Meski dihadapkan pada kritik mengenai gemuknya kabinet dan potensi perpecahan internal, Prabowo berusaha menjaga momentum politik dan memastikan stabilitas pemerintahannya. Tantangan sebenarnya akan terlihat dalam satu hingga dua tahun ke depan, apakah strategi ini akan efektif atau justru menjadi hambatan bagi pemerintahannya.(c@kra)