MoneyTalk, Jakarta – Pada episode terbaru Podcast PHD 4K yang tayang pada Selasa, 29 Oktober 2024, Yanuar Rizky, seorang pengamat ekonomi, memberikan perspektif kritis terhadap kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia, terutama terkait dengan tantangan yang mungkin dihadapi oleh Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan pemerintahan baru. Yanuar menekankan perlunya pendekatan yang lebih hati-hati dalam distribusi kesejahteraan, pembenahan sektor ekonomi, serta menjaga stabilitas sosial melalui kebijakan yang tidak hanya menguntungkan para elit, tetapi juga merembes kepada masyarakat menengah dan bawah.
Menyoal Trickle-Down Effect yang Rentan Gagal
Yanuar menggarisbawahi kekhawatiran penerapan model ekonomi neoliberal yang menekankan pada “trickle-down effect” atau efek menetes ke bawah bisa gagal jika hanya difokuskan pada keuntungan elite. Ia mengingatkan bahwa saat ini tidak ada mekanisme yang jelas untuk memastikan bahwa kesejahteraan ini merembes ke masyarakat luas. Menurutnya, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa kebijakan yang hanya menguntungkan elit dan gagal memberikan dampak positif bagi rakyat justru akan memicu krisis sosial yang mengkhawatirkan.
“Kita harus berhati-hati,” ujarnya. “Jika trickle-down effect gagal, yang terjadi malah krisis sosial, di mana masyarakat bawah merasa diabaikan.”
Ia mengingatkan bahwa negara harus mampu memberikan jaminan bagi seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya bagi kelas menengah ke bawah, tetapi juga masyarakat kelas pekerja yang terkena dampak langsung kebijakan pajak dan inflasi.
Belajar dari Krisis Ekonomi dan Politik di Negara Lain
Yanuar menyoroti kemiripan pola-pola krisis ekonomi di beberapa negara, seperti Korea Selatan pada tahun 1998 dan potensi Indonesia untuk terjerumus dalam krisis serupa jika aspek-aspek fundamental tidak diurus dengan baik. Dia menyebutkan bahwa saat krisis di Korea Selatan, penurunan aset dan tabungan rakyat menjadi pemicu krisis yang lebih dalam. Hal ini, menurut Yanuar, perlu diwaspadai di Indonesia, terutama di saat daya beli masyarakat semakin lemah dan tabungan mulai terkuras untuk kebutuhan sehari-hari.
Ia juga mengangkat isu mutual respect (saling menghormati) dalam kepemimpinan yang ia lihat belum tampak antara Prabowo dan Jokowi, membandingkannya dengan pergantian pelatih sepak bola yang ideal.
“Jika transisi kepemimpinan Prabowo dan Jokowi hanya bersifat transaksional tanpa mutual respect, maka kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah akan semakin berkurang,” jelas Yanuar.
Tantangan Memperkuat Tata Kelola Negara di Era Prabowo
Yanuar berharap Prabowo akan mengembalikan tata kelola negara ke arah yang lebih struktural dan tersistematis, mengingat latar belakang Prabowo sebagai militer yang memahami pentingnya disiplin dalam mengelola negara. Ia mengkritik tata kelola pemerintahan Jokowi yang menurutnya cenderung sering mengubah kebijakan secara fleksibel untuk tujuan pembangunan, tetapi pada akhirnya terkesan meremehkan hukum. Yanuar berharap Prabowo mampu menunjukkan wajah kepemimpinan yang lebih konsisten, dengan integritas antara kata dan tindakan yang serasi.
“Kita butuh pemimpin yang satu kata dengan perbuatannya. Kembali kepada negara hukum, bukan sekadar bermain dengan statistik,” ungkapnya.
BUMN Sebagai Agen Pengembangan Ekonomi Nasional
Yanuar memberikan sorotan khusus pada BUMN yang menurutnya harus berfungsi sebagai agen pembangunan (agent of development) dan bukan sekadar entitas yang mengejar keuntungan. Menurut Yanuar, BUMN di Indonesia perlu disusun lebih sistematis dan dipecah sesuai fungsinya: yang mengelola public goods, public service, dan yang bersifat komersial. Dia menekankan pentingnya BUMN yang bisa menggerakkan ekonomi, memastikan ketahanan pangan, energi, serta menciptakan manfaat ekonomi bagi rakyat.
“BUMN itu bukan sekadar korporasi yang mengejar laba, tapi punya tanggung jawab besar dalam pengembangan negara,” jelasnya.
Risiko Apatisme Masyarakat
Menutup pandangannya, Yanuar mengungkapkan kekhawatiran bahwa selama sepuluh tahun terakhir dialektika publik di Indonesia semakin hilang karena kritik sering kali dicap sebagai pesimisme. Ia menyatakan bahwa kritik yang konstruktif justru diperlukan agar pemerintah tetap berada di jalur yang benar dan tidak terjebak dalam kepercayaan diri yang berlebihan. Dalam pandangannya, kurangnya ruang kritik ini dikhawatirkan akan memicu masyarakat menjadi apatis dan abai terhadap kebijakan yang berjalan, suatu hal yang berbahaya bagi negara demokrasi.
“Yang kita butuhkan adalah kritik yang membangun, bukan justru melabeli semua kritik sebagai pesimisme,” ujar Yanuar. “Sebab, optimisme yang membuta justru akan membawa pemerintah ke dalam lumpur masalah.”
Melalui penjelasannya di Podcast PHD 4K, Yanuar Rizky menawarkan pandangan tajam terhadap tata kelola pemerintahan baru di bawah Prabowo. Ia mengingatkan bahwa keberhasilan suatu pemerintahan bukan hanya soal distribusi ekonomi yang adil, tetapi juga kebijakan yang memperkuat sektor-sektor strategis dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Yanuar, kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok elit dan gagal menyentuh masyarakat bawah pada akhirnya hanya akan memperdalam ketidakstabilan sosial. Prabowo, sebagai pemimpin yang berlatar belakang militer, diharapkan bisa membawa tata kelola negara yang lebih disiplin dan berlandaskan hukum serta dapat memperkokoh daya saing ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global.
Hal ini menyimpulkan bahwa tantangan besar menanti Prabowo dalam mewujudkan kebijakan yang inklusif dan memastikan stabilitas sosial-ekonomi jangka panjang.(c@kra)