MoneyTalk, Jakarta – Mantan Hakim Agung Gayus Lumbun menyoroti berbagai permasalahan dalam sistem peradilan di Indonesia serta memberikan pandangannya tentang operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap seorang hakim aktif. Kejadian ini menurut Gayus merupakan langkah maju yang perlu diapresiasi meski menabrak beberapa prosedur formal peradilan. Berikut pernyataan Gayus pada Rabu (30/10) di acara Keadilan TV.
OTT Kejaksaan Agung, Langkah Progresif
Gayus memulai pernyataannya dengan menyebut bahwa langkah Kejaksaan Agung menangkap hakim yang aktif di sebuah pengadilan merupakan sesuatu yang “langka” dan “luar biasa”. Menurutnya, biasanya tugas menangani hakim aktif lebih sering menjadi ranah KPK, namun Kejaksaan Agung kali ini berhasil melakukan tindakan signifikan yang berpotensi membuka jalan bagi pembersihan institusi peradilan dari tindakan korupsi.
Ia menyatakan bahwa meski operasi tangkap tangan seringkali dilakukan dengan dasar prosedur tertentu, kali ini Kejaksaan Agung berhasil melakukan OTT dengan dasar progresif, yaitu mengedepankan esensi permasalahan di atas prosedural. Dalam pandangan Gayus, ini adalah contoh konkret pendekatan hukum progresif yang tidak sekadar terikat pada aturan teknis, melainkan berfokus pada substansi keadilan.
“OTT dan operasi tangkap tangan (OTT) itu sebenarnya memiliki perbedaan dalam hal pelaksanaan dan aturan yang mengikatnya,” ujar Gayus.
Dalam kasus ini, operasi yang dilakukan tampaknya direncanakan lebih matang sehingga menunjukkan Kejaksaan Agung mengutamakan penegakan hukum yang lebih transparan dan langsung. Gayus menilai, langkah ini baik, namun jika tidak diterima dengan bijak, bisa menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses hukum peradilan.
“Jika publik sudah kehilangan kepercayaan, keadilan jalanan (street justice) bisa menjadi ancaman nyata,” imbuhnya.
Perlunya Badan Eksaminasi Nasional untuk Evaluasi Peradilan
Sebagai solusi terhadap ketidakstabilan di tubuh pengadilan, Gayus mengusulkan pembentukan Badan Eksaminasi Nasional. Lembaga ini, menurutnya, akan memfasilitasi evaluasi menyeluruh atas kasus-kasus yang menjadi perhatian publik. Langkah ini tidak hanya memastikan integritas dalam setiap keputusan hakim, tetapi juga membangun kembali kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Gayus menambahkan, evaluasi ini seharusnya dilakukan terhadap para pejabat peradilan, mulai dari Ketua Pengadilan Negeri (PN) di tingkat kabupaten dan kota hingga Ketua Pengadilan Tinggi (PT) di tingkat provinsi.
“Evaluasi perlu dilakukan terhadap kinerja dan integritas mereka, dan bagi yang menunjukkan prestasi baik, dipertahankan. Yang buruk, diganti,” tegasnya.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa dirinya sudah pernah menyurati Presiden Jokowi pada tahun 2014 dan 2016, mengusulkan pentingnya evaluasi secara berkala. Gayus percaya, pemimpin negara memiliki tanggung jawab moral untuk ikut memantau keadaan pengadilan guna menjaga stabilitas keadilan yang diberikan kepada masyarakat.
Wacana Periode Jabatan untuk Hakim
Dalam perbincangan ini, Gayus juga mengemukakan gagasan tentang pembatasan masa jabatan hakim menjadi lima tahun, serupa dengan anggota DPR atau kepala daerah. Menurutnya, pengadilan sebaiknya tidak menjadikan hakim sebagai jabatan permanen demi mencegah penumpukan kekuasaan di satu tangan yang bisa mendorong ke arah penyimpangan.
“Hakim tetap menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara), dan bisa ditempatkan di instansi lain setelah masa baktinya sebagai hakim usai,” jelasnya.
Pembatasan masa jabatan ini, menurut Gayus, tidak akan menurunkan kualitas profesi, melainkan menjaga agar hakim tetap objektif dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, gagasan ini bisa mengurangi ketergantungan pengadilan pada beberapa hakim yang sudah terlalu lama berada di satu tempat atau kasus tertentu.
Problematika Kasus Makelar Kasus dan Moral Hakim
Gayus juga menyinggung praktik makelar kasus yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung. Menurutnya, makelar kasus hanyalah “baut” dari mesin besar bernama “pelanggaran di peradilan.” Ia menekankan bahwa akar permasalahan sesungguhnya ada pada integritas hakim itu sendiri.
“Hakim adalah penentu utama keadilan, dan ketika mereka terlibat dalam tindakan-tindakan korupsi, itu menghancurkan keseluruhan fondasi kepercayaan publik,” ujar Gayus.
Dalam pandangan Gayus, fenomena makelar kasus menunjukkan betapa lemahnya sistem kontrol terhadap perilaku hakim. Selain itu, ketidakpastian sanksi terhadap pelaku makelar kasus di pengadilan menjadi faktor lain yang semakin memperburuk masalah ini.
“Makelar kasus hanya akan ada jika ada celah yang diberikan oleh hakim,” tegasnya.
Sebagai penutup, ia meminta semua pihak, khususnya pemerintah, agar terus melakukan reformasi di bidang peradilan demi terciptanya sistem hukum yang berintegritas.
Mengembalikan Wibawa Lembaga Peradilan
Sebagai mantan Hakim Agung yang telah menyaksikan kompleksitas dunia peradilan dari dekat, Gayus Lumbun memiliki keyakinan kuat bahwa reformasi menyeluruh harus segera dilakukan untuk membersihkan institusi peradilan dari perilaku koruptif. Penangkapan hakim oleh Kejaksaan Agung merupakan langkah awal yang baik, namun perlu dilanjutkan dengan evaluasi dan pembenahan menyeluruh.
Gayus menegaskan bahwa integritas pengadilan harus dijaga untuk menghindari situasi di mana publik mencari keadilan di luar jalur hukum resmi. “Street justice adalah ancaman nyata bagi negara hukum, dan kita harus mencegahnya dengan menciptakan sistem peradilan yang benar-benar adil dan terpercaya,” tutup Gayus.(c@kra)