Ada Dugaan, PMK Sengaja Disusun untuk Kepentingan Tertentu

  • Bagikan
Ada Dugaan, PMK Sengaja Disusun untuk Kepentingan Tertentu
Ada Dugaan, PMK Sengaja Disusun untuk Kepentingan Tertentu

MoneyTalk, Jakarta – Dalam diskusi yang disiarkan di kanal YouTube Pajak Smart pada Jumat (1/11), beberapa tokoh membahas kontroversi mengenai kewenangan Menteri Keuangan dalam mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang berpotensi melewati batas kewenangan dan mengakali Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Para panelis diskusi yang berasal dari Institut Wajib Pajak Indonesia (IWPI), menyoroti adanya 48 kali frasa “Peraturan Menteri Keuangan” dalam revisi terbaru UU KUP sejak 2007. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa kebijakan-kebijakan PMK secara sengaja disusun untuk kepentingan tertentu tanpa melewati pembahasan dengan legislatif.

Perubahan UU KUP pertama kali terjadi pada tahun 1983, dengan revisi pertama di tahun 1994 dan revisi kedua di tahun 2000. Namun, sejak tahun 2007, UU KUP mengalami perubahan besar yang mengikutsertakan PMK secara intensif dalam hal pengaturan teknis. Menurut pemaparan IWPI, hal ini memperlihatkan adanya pergeseran dari otoritas DPR sebagai legislatif menuju kekuasaan lebih besar pada pihak eksekutif, dalam hal ini Menteri Keuangan. Dengan adanya 48 kali perubahan terkait PMK, seolah-olah UU KUP menyerahkan sebagian besar detail peraturan teknis kepada Menteri Keuangan tanpa persetujuan rakyat atau wakil rakyat di DPR.

IWPI mengungkapkan bahwa PMK digunakan secara luas dalam menentukan proses pemeriksaan pajak, tata cara pengajuan keberatan, hingga tata cara penggugatan, sehingga membuat wajib pajak mengalami kesulitan dalam memahami dan memenuhi kewajiban perpajakan. Lebih lanjut, PMK dianggap telah mempermudah Dirjen Pajak dan Kementerian Keuangan dalam mengganti aturan sesuai kebutuhan tanpa prosedur persetujuan DPR.

Seperti yang dijelaskan dalam diskusi, salah satu contohnya adalah perubahan PMK terkait tata cara pemeriksaan pajak. IWPI menemukan bahwa tata cara ini telah diubah berkali-kali, dari PMK 17 Tahun 2013 hingga PMK 18 Tahun 2021, yang menambah kebingungan bagi wajib pajak. Setiap perubahan biasanya hanya sebagian kecil dari pasal-pasal yang diatur, sehingga wajib pajak harus merujuk pada dokumen-dokumen terpisah dan terus mengikuti perubahan demi perubahan yang muncul tanpa peringatan yang jelas.

Salah satu kritik tajam yang diungkapkan dalam diskusi tersebut adalah bahwa beberapa PMK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai contoh, PMK terkait kuasa wajib pajak hanya mengizinkan konsultan pajak dan karyawan wajib pajak yang dapat menjadi kuasa dalam perkara pajak, tanpa memberikan keleluasaan pada advokat atau pengacara yang mungkin dipilih wajib pajak. Hal ini bertentangan dengan hak warga negara untuk mendapat perlindungan hukum setara, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945. Mahkamah Konstitusi kemudian membatalkan aturan tersebut melalui putusan MK Nomor 63 Tahun 2017.

IWPI menyoroti bahwa kewajiban bagi wajib pajak untuk mematuhi aturan yang terus berubah ini sangat melelahkan, memakan banyak waktu, dan menambah beban biaya bagi wajib pajak. Proses yang berbelit-belit ini juga membuat wajib pajak harus sering mengajukan keberatan, gugatan, bahkan melaporkan kasus-kasus ke Ombudsman jika terdapat ketidakadilan. Sayangnya, upaya ini tidak selalu membuahkan hasil positif, mengingat banyaknya hambatan administratif yang ditimbulkan oleh aturan PMK yang tak sesuai dengan UU KUP.

Selain hambatan yang dirasakan wajib pajak, salah satu fenomena menarik yang diungkapkan dalam diskusi tersebut adalah adanya “mazhab” di kalangan eksekutif yang menganggap bahwa melanggar PMK dapat diterima asalkan bertujuan untuk mengukur kinerja pegawai pajak. Hal ini berpotensi menjadi penyalahgunaan wewenang, di mana aturan yang dibuat justru diabaikan oleh pembuatnya sendiri dengan dalih mengukur kinerja.

Fenomena ini menunjukkan bahwa beberapa pejabat eksekutif seolah-olah tidak menganggap PMK sebagai aturan yang wajib dipatuhi, dan menggunakannya sebagai alat untuk mencapai tujuan internal. Hal ini dianggap berbahaya oleh para pengamat, mengingat PMK seharusnya merupakan aturan teknis yang melengkapi UU KUP, bukan menjadi instrumen fleksibel yang dapat disesuaikan demi alasan kinerja.

Melihat kompleksitas ini, diskusi di Pajak Smart menyimpulkan adanya dugaan bahwa kebijakan PMK disusun sedemikian rupa agar dapat mempermudah eksekutif dalam mengendalikan dan menyesuaikan kebijakan pajak tanpa mengindahkan aturan undang-undang yang lebih tinggi. Hal ini bertentangan dengan prinsip perundang-undangan dan menimbulkan keresahan bagi wajib pajak yang merasa bahwa hak mereka untuk diperlakukan setara di depan hukum telah dirugikan.

Saran yang disampaikan oleh para panelis adalah bahwa wajib pajak perlu memperjuangkan hak mereka dengan mengajukan judicial review terhadap PMK yang dianggap melanggar UU KUP dan UUD 1945. Meski demikian, proses ini tentu tidak mudah dan memakan biaya yang besar, mengingat jumlah PMK yang terindikasi bertentangan dengan undang-undang cukup banyak.

Kritik ini menunjukkan, diperlukan pengawasan lebih ketat terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, serta reformasi dalam proses pembentukan PMK agar tidak menyalahi prinsip hukum dan merugikan wajib pajak.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *