MoneyTalk, Jakarta – Di tengah tekanan ekonomi dan daya beli masyarakat yang masih lemah, Indonesia justru menghadapi potensi kenaikan inflasi pada bulan Oktober 2024. Berdasarkan konsensus pasar yang dikumpulkan oleh CNBC Indonesia, Indeks Harga Konsumen (IHK) diperkirakan mengalami inflasi sebesar 0,03% month-to-month (mtm).
Setelah lima bulan berturut-turut mengalami deflasi, kenaikan kecil ini menjadi perhatian, terutama karena daya beli masyarakat yang masih belum sepenuhnya pulih. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi ini memerlukan analisis mendalam, terutama terkait dengan dinamika harga barang dan pengaruh eksternal terhadap permintaan domestik.
Bob Azam, Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, menyatakan bahwa inflasi ini tidak dapat dilepaskan dari dua faktor utama: peningkatan permintaan dan kenaikan harga barang. Namun, penting untuk memahami penyebab di balik kenaikan tersebut, terlebih dalam konteks daya beli masyarakat yang masih rendah.
Menurut Bob Azam, kenaikan harga yang terjadi bisa jadi lebih karena antisipasi perusahaan dalam menghadapi potensi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan upah minimum. Dalam situasi ini, perusahaan mungkin merasa perlu menaikkan harga untuk menjaga stabilitas keuangan, meskipun daya beli masyarakat belum cukup kuat untuk mendukung kenaikan tersebut.
Selain itu, ketegangan politik di Timur Tengah berpotensi mengganggu sistem logistik global. Ini mendorong banyak perusahaan meningkatkan stok barang mereka. Langkah ini menciptakan kesan seolah-olah terjadi kenaikan permintaan, padahal sebenarnya hanya bentuk dari upaya pencegahan perusahaan menghadapi gangguan suplai. Dampaknya, harga barang bisa naik karena tingginya persediaan yang dimiliki perusahaan, meskipun permintaan konsumen belum cukup besar.
Inflasi yang terjadi di tengah daya beli lemah berpotensi memicu stagflasi, yakni situasi di mana inflasi naik tetapi pertumbuhan ekonomi stagnan atau menurun. Bob Azam menekankan, stagflasi perlu diwaspadai karena kondisi ini dapat merugikan perekonomian secara keseluruhan. Meskipun harga naik, tingkat konsumsi masyarakat tidak meningkat seiring kenaikan harga tersebut. Kondisi ini pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Untuk menghindari kondisi ini, perlu adanya kebijakan pemerintah yang tepat, baik dalam bentuk subsidi atau bantuan langsung tunai (BLT) yang dapat merangsang permintaan domestik.
Kepala Center of Industry, Trade and Investment INDEF, Andry Satrio Nugroho, mengatakan, jika inflasi terjadi pada Oktober 2024, kemungkinan tidak akan terlalu tinggi. Menurutnya, daya beli yang masih lemah menjadi alasan utama mengapa inflasi tetap terbatas. Bahkan, jika Indonesia mengalami deflasi kembali pada bulan ini, hal tersebut tidak akan mengejutkan. Harga-harga pangan dan transportasi tidak mengalami kenaikan signifikan, seperti yang terlihat dari harga komoditas seperti cabai dan beras yang relatif stabil. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga menurun di bulan Oktober, sehingga memperkuat proyeksi bahwa inflasi, jika terjadi, tidak akan terlalu tinggi.
Namun demikian, inflasi di akhir tahun khususnya pada bulan Desember, berpotensi lebih tinggi karena permintaan meningkat akibat perayaan Natal dan tahun baru. Meski demikian, Andry Satrio menambahkan bahwa permintaan pada periode tersebut kemungkinan tetap lebih rendah dibandingkan dengan periode Ramadan sebelumnya.
Permintaan global, khususnya dari negara-negara besar seperti China, yang masih berjuang mengatasi tantangan overcapacity, juga berpengaruh pada sektor industri Indonesia. Banyak industri domestik yang berorientasi ekspor terpaksa menahan produksi akibat penurunan permintaan dari pasar global. Di sisi lain, kondisi ini membuka peluang bagi produk-produk impor dengan harga lebih murah untuk masuk ke Indonesia. Masuknya produk-produk ini dapat menarik permintaan di pasar domestik karena harga yang terjangkau, namun situasi ini dapat berdampak negatif bagi industri dalam negeri yang sudah mengalami tekanan daya beli.
Pemerintah memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya stagflasi dan mengelola inflasi agar tidak memberikan tekanan lebih besar pada daya beli masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat bantuan langsung tunai (BLT) atau subsidi langsung lainnya untuk menjaga daya beli masyarakat. Selain itu, intervensi pemerintah dalam bentuk pengaturan harga pangan dan kebutuhan pokok dapat membantu menjaga stabilitas harga.
Dengan Pilkada yang semakin dekat, ada kemungkinan bahwa pemerintah menahan beberapa kebijakan fiskal yang dapat menambah beban masyarakat, seperti kenaikan tarif pajak atau harga-harga tertentu. Jika kebijakan ini terus berjalan hingga akhir tahun, permintaan domestik dapat terdorong, meski tetap perlu berhati-hati agar tidak menimbulkan inflasi yang terlalu tinggi.
Di tengah lemahnya daya beli masyarakat, potensi kenaikan inflasi di Indonesia pada Oktober 2024 menciptakan tantangan tersendiri. Beberapa faktor utama yang mendorong inflasi mencakup antisipasi perusahaan terhadap kenaikan PPN dan upah, peningkatan inventory akibat kekhawatiran terhadap logistik global, serta tekanan eksternal yang memengaruhi permintaan domestik.
Meskipun inflasi yang terjadi diperkirakan rendah, situasi ini menunjukkan perlunya kebijakan yang mampu menjaga stabilitas harga dan memperkuat daya beli masyarakat. Keseimbangan antara kebijakan fiskal, subsidi, dan pengelolaan harga yang tepat akan menjadi kunci dalam menjaga perekonomian Indonesia tetap stabil di tengah tantangan global dan tekanan domestik yang ada.(c@kra)