MoneyTalk, Jakarta – Dalam sebuah wawancara yang berlangsung di Kanal YouTube Pajak Smart pada Minggu (27/10), Rinto dari Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) mengungkapkan data mengejutkan mengenai harta kekayaan salah satu pemeriksa pajak di Jatim 3, Hartini Suesti Ningsih. Harta Hartini dilaporkan mengalami peningkatan signifikan, mencapai 900 juta rupiah dalam setahun. Data ini menarik perhatian karena menunjukkan adanya potensi penyimpangan yang perlu diinvestigasi lebih lanjut.
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) merupakan instrumen penting untuk memantau transparansi dan akuntabilitas para pejabat publik, termasuk pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Wawancara tersebut menggali lebih dalam mengenai laporan harta Ibu Hartini yang menunjukkan kekayaan yang melonjak dari 1,9 miliar rupiah pada 2023 menjadi 2,8 miliar rupiah pada 2024. Kenaikan ini terlihat sangat mencolok jika dibandingkan dengan tren peningkatan harta yang relatif stabil sebelumnya.
Dalam dialog yang dipandu oleh Rinto dan rekan-rekannya, dibahas juga tentang LHKPN milik Pak Wisnu Prasetyo. Ia merupakan supervisor di tim pemeriksa pajak PT Alien Indonesia. LHKPN Wisnu menunjukkan harta kekayaan yang juga meningkat, namun tidak secepat dan se-signifikan Hartini. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai mekanisme pemeriksaan pajak yang mungkin terpengaruh oleh faktor-faktor internal.
Rinto dan tim mengungkapkan, dalam sistem pemeriksaan pajak dapat terjadi kolusi antara pemeriksa pajak dan wajib pajak. Kolusi bisa menghasilkan keuntungan tidak sah bagi salah satu pihak. Hartini diduga telah merekomendasikan konsultan pajak yang dianggap abal-abal, yang bisa menjadi tanda adanya praktik tidak etis dalam pemeriksaan pajak.
Rinto menjelaskan, kenaikan harta sebesar 900 juta rupiah dalam setahun oleh seorang pegawai pajak adalah sebuah pertanda yang tidak wajar. Kenaikan ini menimbulkan kecurigaan mengenai sumber kekayaan tersebut. Dalam konteks pekerjaan dan gaji yang diterima oleh pegawai pajak, ada batasan-batasan yang jelas mengenai apa yang dianggap sebagai peningkatan harta yang wajar.
Berdasarkan analisis, jika Hartini memperoleh kenaikan harta sebesar itu, bisa jadi ada aliran dana yang tidak terdeteksi, atau bahkan praktik penyuapan yang dapat merugikan negara dan menciptakan ketidakadilan bagi wajib pajak lainnya. Dalam diskusi dibahas kemungkinan adanya praktik suap di mana konsultan pajak yang ditunjuk memberikan imbalan kepada pemeriksa pajak sebagai bentuk kompensasi.
Rinto dan tim menekankan pentingnya ketelusuran dalam laporan LHKPN, terutama bagi pejabat publik yang memiliki akses langsung terhadap kebijakan perpajakan. Dalam kasus ini, rekomendasi untuk melaporkan dugaan pelanggaran kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun muncul sebagai langkah yang perlu diambil untuk menjaga integritas lembaga perpajakan di Indonesia.
Masyarakat diingatkan untuk lebih waspada terhadap potensi penyimpangan yang terjadi di lingkungan pemerintahan. Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa setiap individu di sektor publik, terutama yang memiliki kekuasaan, harus dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan dan kekayaan yang dimiliki
Kenaikan harta Hartini Suesti Ningsih, pemeriksa pajak di Jatim 3, yang mencapai 900 juta rupiah dalam setahun patut menjadi perhatian serius. Kasus ini menggambarkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Rinto dan IWPI mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengawasi praktik perpajakan agar keadilan dan integritas dapat terjaga. Wawancara ini merupakan langkah awal untuk menggugah kesadaran akan pentingnya tindakan preventif terhadap potensi korupsi di dalam sistem perpajakan Indonesia.(c@kra)