MoneyTalk, Jakarta – Dalam beberapa waktu terakhir, muncul polemik terkait dugaan bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) sejalan dengan tokoh-tokoh politik tertentu yang menginginkan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Hal ini menjadi bahan diskusi dan kritik dari berbagai pihak, termasuk Simon John dalam kanal YouTube-nya yang secara khusus menyoroti peran DPD RI dalam isu-isu yang bersifat sensitif.
Diskusi ini semakin menarik ketika kita memandangnya dari perspektif filsafat politik, yaitu bagaimana sikap institusi negara dan tokoh-tokoh publik dapat memengaruhi proses demokratisasi di Indonesia. Apakah keterlibatan DPD RI dalam isu ini mencerminkan demokrasi yang sehat? Ataukah justru ini memperlihatkan kecenderungan mereka terlibat dalam politik praktis yang cenderung inkonstitusional?
Dalam pandangan filsafat politik, suatu lembaga tinggi negara seperti DPD RI seharusnya memegang peran yang lebih netral dan menjadi pengawas yang independen dalam proses politik. Namun, jika lembaga tersebut dianggap ikut berperan dalam isu-isu yang berpotensi kontroversial, seperti pemakzulan wakil presiden, maka lembaga itu dianggap telah meninggalkan peran konstitusionalnya dan mulai masuk dalam arena politik praktis.
Hal ini bisa dianalisis melalui teori “suprastruktur” dan “low struktur” dalam filsafat politik. Suprastruktur merujuk pada lembaga-lembaga tinggi negara yang memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan kebijakan, sementara low struktur mencakup opini publik atau pengaruh sosial yang dibangun di ruang virtual dan media. DPD RI, sebagai bagian dari suprastruktur, seharusnya mengedepankan stabilitas politik dan mendukung proses demokrasi, bukan memperkeruh suasana dengan isu-isu yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik.
Simon John menyebut bahwa beberapa tokoh, yang ia istilahkan sebagai “guru nyinyir,” sering kali menggunakan isu-isu sensitif seperti pemakzulan untuk memecah belah opini publik dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang sah. Ia menyebut kelompok ini sebagai pihak yang “curiga” terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Dalam hal ini, kritik yang berlebihan dan bersifat destruktif justru mengarah pada tindakan inkonstitusional yang mengancam demokrasi.
Para “guru nyinyir” ini, seperti dijelaskan oleh Simon John, mencoba mempengaruhi lembaga tinggi negara seperti DPD RI agar mengambil sikap terhadap isu-isu kontroversial. Mereka mengarahkan opini publik melalui media sosial, sehingga menciptakan persepsi bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran tidak sah atau bermasalah. Namun, ketika sebuah lembaga negara terpengaruh oleh narasi-narasi semacam ini, maka mereka dapat terjebak dalam politik praktis yang inkonstitusional, dan bukan lagi berperan sebagai pengawal demokrasi yang sejati.
DPD RI sebagai lembaga perwakilan daerah, seharusnya bersikap independen dan menjaga jarak dari politik praktis yang dapat menimbulkan instabilitas. Sikap yang inklusif, demokratis, dan konstitusional akan lebih bermanfaat bagi pengembangan demokrasi yang sehat di Indonesia. Dalam konteks ini, DPD RI perlu memahami bahwa mereka adalah bagian dari MPR yang telah melantik Prabowo dan Gibran sebagai presiden dan wakil presiden yang sah, sehingga segala bentuk tindakan yang dapat mengarah pada inkonstitusionalitas harus dihindari.
Filsafat politik mengajarkan kita untuk memandang demokrasi secara positif, namun kritis. Demokrasi Indonesia memang masih memiliki banyak kekurangan, tetapi hal tersebut tidak bisa menjadi alasan untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. Kritik konstruktif selalu dibutuhkan, namun kritik tersebut harus tetap berada dalam jalur konstitusional.
Jika lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPD RI mulai terlibat dalam politik praktis, maka demokrasi akan kehilangan esensinya. Keterlibatan DPD RI dalam isu sensitif seperti pemakzulan wakil presiden dapat mencederai legitimasi demokrasi itu sendiri. Pada akhirnya, hal ini tidak hanya berdampak pada stabilitas politik, tetapi juga pada kesejahteraan rakyat yang menaruh harapan pada keberlangsungan pemerintahan.
Paul Ricoeur, seorang filsuf politik, menjelaskan bahwa tindakan politik harus memiliki tujuan jangka panjang yang mengarah pada kebaikan bersama, bukan tujuan jangka pendek yang bersifat pragmatis. Dalam konteks ini, tindakan inkonstitusional yang didorong oleh “guru nyinyir” justru mencerminkan upaya untuk mengacaukan demokrasi. Menurut Ricoeur, tindakan seperti ini dapat mengganggu kepercayaan publik terhadap lembaga negara, dan pada akhirnya merusak kredibilitas demokrasi.
Melihat fenomena ini, masyarakat Indonesia sebaiknya tetap menjaga sikap kritis, tetapi juga konstruktif terhadap isu-isu politik. Dukungan pada pemerintah Prabowo-Gibran bukan berarti mengabaikan kekurangan, namun upaya untuk mempertahankan stabilitas yang dibutuhkan bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Demokrasi adalah proses panjang yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk lembaga tinggi negara seperti DPD RI yang seharusnya bersikap netral.
Sebagai penutup, kritik dan sikap kritis dari masyarakat tetaplah diperlukan dalam demokrasi. Namun, kritik tersebut harus selalu berada dalam koridor konstitusional. Upaya yang bersifat inkonstitusional hanya akan membawa kerugian bagi demokrasi itu sendiri. DPD RI diharapkan dapat memainkan perannya dengan bijak dan tidak terjebak dalam permainan politik yang merusak nilai-nilai demokrasi di Indonesia.(c@kra)