MoneyTalk, Jakarta – Pernyataan yang disampaikan oleh Mardigu Wowiek melalui kanal YouTube-nya pada (05/11) mengungkapkan optimisme Presiden Prabowo terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai 8%. Menurut Mardigu, target ambisius ini hanya dapat tercapai jika APBN Indonesia mencapai angka sekitar Rp8.000 triliun. Di sisi lain, IMF menilai proyeksi tersebut sulit dicapai, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada pada kisaran 5% hingga 2029.
Pernyataan ini memunculkan diskusi mengenai bagaimana kebutuhan dana besar untuk mendukung pertumbuhan? Bagaimana pengalaman internasional seperti Amerika Serikat, bisa memberikan inspirasi?
APBN Indonesia saat ini dianggarkan sebesar Rp3.600 triliun untuk 2025, jauh di bawah Rp8.000 triliun yang dianggap diperlukan oleh Prabowo. Mardigu mengkritik, anggaran ini hanyalah rencana belanja yang tidak sepenuhnya tersedia dalam bentuk uang tunai. Indonesia pun mengalami kendala dalam ekspansi fiskal, terutama karena jumlah uang kartal yang beredar hanya sekitar Rp954,4 triliun, menurut data Bank Indonesia.
Menurut Mardigu, kesulitan utama Indonesia dalam mencapai pertumbuhan ekonomi adalah keterbatasan uang yang tersedia bagi negara. Keterbatasan dana ini menurutnya menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. Sebagai negara yang ekonominya ditopang oleh konsumsi, dibutuhkan peningkatan daya beli masyarakat yang saat ini dinilai masih kurang.
Dalam video tersebut, Mardigu menguraikan contoh kebijakan AS saat krisis keuangan 2008. Saat itu, AS mencetak uang dalam jumlah besar (sekitar 2 triliun dolar) untuk menyelamatkan sistem keuangannya. AS menggunakan metode pencetakan uang (quantitative easing) untuk melunasi utang-utang di berbagai sektor tanpa menciptakan inflasi besar di dalam negeri.
Solusinya adalah menggunakan proyek-proyek di luar negeri, termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, sebagai “underlaying” atau pendukung cetak dolar.
Mardigu mengindikasikan, negara-negara berkembang sering kali menjadi “penyangga” bagi kebijakan cetak uang AS. Dengan kata lain, negara-negara tersebut menerima dampak inflasi dari suplai dolar yang berlebih, sementara ekonomi AS sendiri tetap stabil. Pandangan ini mengkritisi mengapa negara seperti Indonesia dianggap tidak bisa mencetak uang sebanyak itu tanpa merusak ekonominya.
Jika Indonesia ingin mendanai pertumbuhan besar-besaran, Mardigu menyarankan adanya pendekatan yang mirip dengan quantitative easing. Namun, tantangannya jauh lebih rumit. Indonesia sebagai negara berkembang tidak memiliki mata uang dengan status cadangan devisa internasional seperti dolar AS. Dampak pencetakan uang dalam jumlah besar dapat mengakibatkan inflasi tinggi jika tidak diimbangi dengan produktivitas dan pengendalian harga.
Dalam konteks ini, tantangan besar adalah bagaimana Indonesia bisa menggunakan dana APBN untuk proyek-proyek produktif. Pencetakan uang dapat dipertimbangkan jika dana tersebut digunakan pada sektor-sektor dengan multiplier effect tinggi yang dapat mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan ekspor, dan menciptakan lapangan kerja.
Menurut Mardigu, ada beberapa opsi pendanaan selain pencetakan uang yang dapat dilakukan Indonesia, antara lain:
Peningkatan Investasi Asing. Pembukaan akses investasi untuk infrastruktur dan sektor produktif dapat membantu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing Indonesia. Skema investasi di sektor energi terbarukan, teknologi digital, dan manufaktur dapat menarik modal asing yang bersedia mendanai proyek-proyek besar.
Efisiensi Pengelolaan APBN. Pengurangan pemborosan anggaran dan peningkatan efisiensi belanja negara akan sangat berpengaruh. Indonesia dapat mengalihkan anggaran ke sektor-sektor prioritas yang berdampak langsung terhadap ekonomi rakyat.
Mendorong Kredit Domestik Produktif. Penggunaan instrumen keuangan domestik seperti obligasi infrastruktur atau sukuk dapat menjadi sumber pembiayaan bagi proyek-proyek besar. Instrumen ini tidak mencetak uang secara langsung, namun menarik dana yang ada di masyarakat untuk dialihkan pada pembangunan.
Perluasan Pajak dan Pengurangan Insentif Berlebihan. Meningkatkan basis pajak dan mengurangi insentif fiskal yang tidak efisien dapat meningkatkan pendapatan negara. Misalnya, penerapan pajak berbasis karbon atau pajak ekonomi digital bisa menambah pemasukan tanpa harus mencetak uang.
Ambisi Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% merupakan target yang menantang. Seperti yang disampaikan oleh Mardigu, peningkatan APBN hingga Rp8.000 triliun adalah ide besar yang perlu dukungan fundamental keuangan yang kuat. Meniru kebijakan cetak uang AS bukanlah solusi langsung bagi Indonesia, mengingat karakteristik ekonomi yang berbeda.
Indonesia perlu fokus pada langkah-langkah terukur untuk meningkatkan pendapatan domestik, mengoptimalkan investasi, dan menciptakan lapangan kerja baru yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai melalui kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan inklusif tanpa harus bergantung sepenuhnya pada kebijakan pencetakan uang yang ekstrem.(c@kra)