MoneyTalk, Jakarta – Indonesia baru-baru ini dihebohkan oleh penangkapan Zarof Ricar, seorang pejabat Mahkamah Agung yang diduga terlibat dalam praktik suap terkait kasus Ronald Tannur. Kasus ini memunculkan keprihatinan mendalam tentang integritas lembaga peradilan tertinggi di negara ini, dengan dugaan mafia peradilan yang terlibat dalam skala sangat besar.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, pengungkapan ini merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan, namun tidak mengejutkan. Mafia peradilan sudah lama menjadi masalah yang terus menghantui sistem hukum Indonesia.
Penangkapan Zarof Ricar dalam dugaan suap yang diduga melibatkan uang sebesar satu triliun rupiah mengungkapkan adanya praktik yang sangat merusak kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung. Ricar, meskipun bukan hakim yang menangani perkara langsung, memiliki pengaruh besar dalam pengaturan siapa yang menangani kasus-kasus tertentu. Bahkan berperan dalam menentukan putusan yang keluar. Hal ini memperlihatkan betapa celah dalam pengawasan lembaga peradilan memungkinkan praktik korupsi berjalan dengan sangat masif.
Bivitri Susanti, dalam wawancaranya dengan Keadilan TV, menjelaskan bahwa meskipun Zarof tidak langsung memegang putusan, pengaruhnya yang besar dalam mengatur jalannya perkara menunjukkan besarnya mafia peradilan yang bisa menggerakkan roda pengadilan tanpa terlihat di permukaan. Korupsi yang melibatkan pejabat sekelas Zarof, yang bahkan tidak memiliki hubungan langsung dengan putusan, menunjukkan betapa rentannya sistem pengawasan di Mahkamah Agung.
Salah satu kritik yang disampaikan oleh Bivitri Susanti adalah terkait sistem rekrutmen hakim agung yang saat ini sangat lemah dalam pengawasan. Dalam wawancara tersebut, Bivitri menyarankan untuk melakukan reformasi total dalam cara hakim agung dipilih dan diawasi. Menurutnya, jika tidak ada political will yang kuat dan dukungan penuh terhadap lembaga pengawasan, seperti Komisi Yudisial (KY), maka fenomena mafia peradilan ini tidak akan pernah berakhir.
Lebih lanjut, Bivitri mengungkapkan, salah satu cara untuk memutus mata rantai korupsi di Mahkamah Agung adalah dengan “membongkar total” sistem pengawasan dan seleksi hakim agung. Ia menyarankan untuk memecat seluruh hakim agung yang ada dan melakukan seleksi ulang dengan sistem yang lebih transparan dan lebih ketat dalam pengawasan.
Komisi Yudisial (KY) memiliki peran penting dalam mengawasi perilaku hakim di Indonesia. Namun, dalam banyak kasus, KY hanya memiliki kekuatan untuk memberikan rekomendasi, yang sering kali tidak diindahkan oleh pihak Mahkamah Agung. Hal ini terjadi karena adanya konflik kepentingan dalam tubuh Mahkamah Agung, yang membuat para hakim agung sulit diawasi secara efektif.
Kasus Zarof Ricar menunjukkan, meskipun KY sudah melakukan tugasnya dengan menemukan bukti-bukti suap dan mafia peradilan, mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengambil tindakan yang lebih konkret. Bivitri menyarankan agar kekuatan Komisi Yudisial diperkuat, tidak hanya secara institusional tetapi juga secara fungsional agar bisa memberikan efek jera terhadap para pelaku korupsi di lingkungan peradilan.
Untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia dan mencegah terulangnya kasus serupa, Bivitri mengusulkan sejumlah langkah konkret. Pertama, memperkuat Komisi Yudisial dengan memberikan kewenangan yang lebih besar, bukan hanya sebatas rekomendasi, tetapi juga tindakan yang lebih tegas terhadap hakim yang terbukti terlibat dalam praktik korupsi. Kedua, melakukan pembaruan dalam sistem rekrutmen hakim yang lebih transparan dan independen, dengan melibatkan lebih banyak pihak yang berkompeten dalam seleksi hakim.
Selain itu, Bivitri juga mengusulkan untuk memperbaiki sistem pengawasan di tingkat Mahkamah Agung dan memastikan bahwa lembaga-lembaga pengawas lainnya, seperti Badan Pengawas, memiliki kewenangan yang lebih besar dalam menindak pelanggaran. Pembaruan ini bertujuan untuk menciptakan sistem yang lebih bersih dan bebas dari mafia peradilan, sehingga rakyat dapat kembali mempercayai sistem hukum Indonesia.
Kasus penangkapan Zarof Ricar yang melibatkan satu triliun rupiah dalam suap dan praktik mafia peradilan menunjukkan betapa besar masalah korupsi yang ada di Mahkamah Agung. Pembaruan menyeluruh dalam sistem rekrutmen hakim, penguatan lembaga pengawas, dan peningkatan kewenangan Komisi Yudisial adalah langkah-langkah penting untuk membongkar mafia peradilan yang telah lama merusak sistem peradilan Indonesia.
Tanpa adanya komitmen yang kuat dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait, praktik kotor ini akan terus berkembang, dan masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap keadilan yang seharusnya ditegakkan oleh Mahkamah Agung.