Pandangan tentang Sertifikasi Halal, Korupsi, dan Isu Ketidakadilan

  • Bagikan
Pandangan tentang Sertifikasi Halal, Korupsi, dan Isu Ketidakadilan
Pandangan tentang Sertifikasi Halal, Korupsi, dan Isu Ketidakadilan

MoneyTalk, Jakarta – Dalam podcast terbaru Rhenald Kasali yang tayang di YouTube pada Jumat, 8 November 2024, Mahfud MD, tokoh hukum dan Menkopolhukam Indonesia, berbagi pandangan tentang berbagai isu yang saat ini menjadi sorotan. Dari sertifikasi halal, korupsi, hingga isu-isu ketidakadilan yang tengah mencuat, Mahfud memberikan pemahaman komprehensif, mencerminkan sisi kritis sekaligus keprihatinannya terhadap kondisi bangsa.

Mahfud memulai dengan membahas tantangan sertifikasi halal yang menjadi bahan diskusi di masyarakat. Menurutnya, sertifikasi halal untuk produk-produk di Indonesia dapat menyulitkan, baik dari sisi biaya maupun penerapannya, terutama bagi masyarakat pedesaan dan pelaku usaha kecil. Mahfud menyinggung banyak produk lokal yang belum memiliki akses mudah untuk memenuhi sertifikasi halal.

Mahfud menyoroti pernyataan seseorang yang mengusulkan agar: hanya barang yang haram saja yang diberi label, sehingga tak perlu semua produk harus bersertifikat halal. Menurut Mahfud, itu ide yang logis karena yang perlu dipastikan hanyalah produk-produk yang diragukan halal atau haramnya. Mahfud menambahkan, dari segi biaya, memastikan halal-haramnya sebuah produk bukanlah perkara mudah.

“Semua produk sampai ke desa-desa, alat ujinya enggak ada. Dan itu butuh keahlian khusus, seperti ahli kimia,” ujarnya.

Kemudian Mahfud bercanda tentang pengalaman Gus Dur yang terkenal dengan pendekatan humor dalam menghadapi persoalan halal-haram. Gus Dur sering kali berpendapat sederhana.

“Kalau saya tahu itu haram, saya enggak akan makan. Tapi kalau tidak tahu, ya sudah,” ujarnya.

Pernyataan ini merefleksikan kadang kala tidak semua hal harus dipersulit oleh birokrasi yang berlebihan, namun tetap penting menjaga prinsip dasar agama yang tidak menyulitkan umatnya.

Selanjutnya Mahfud MD menyinggung isu korupsi yang marak terjadi dan menjadi pusat perhatian publik. Ia membahas secara spesifik kasus impor gula yang melibatkan Tom Lembong. Mahfud menjelaskan bahwa secara legal, kasus ini memenuhi unsur korupsi karena menyebabkan kerugian negara, memperkaya pihak lain, dan melanggar aturan. Namun, kemudian Ia bertanya, mengapa hanya Tom Lembong yang ditindak? Padahal, praktik serupa diduga melibatkan beberapa menteri lain yang masih bertugas hingga saat ini.

Mahfud menyayangkan adanya kesan politisasi dalam penindakan korupsi, di mana kasus tertentu diangkat, sedangkan kasus lainnya dibiarkan begitu saja.

“Kalau ada keadilan yang tidak seimbang, itu akan memunculkan perasaan tidak adil di masyarakat,” ungkap Mahfud.

Mahfud juga membahas kondisi aparat penegak hukum yang kurang kompeten dan kadang kala bertindak sewenang-wenang, sehingga menambah ketidakpercayaan masyarakat. Contohnya, Mahfud mengisahkan kasus pencurian saham yang melibatkan pihak notaris dan pejabat tertentu, yang akhirnya menyebabkan pemilik asli perusahaan kehilangan haknya. Menurutnya, hanya presiden yang dapat melakukan perubahan yang signifikan, mengingat tingginya tingkat kolusi di berbagai sektor. Kasus-kasus seperti ini menambah kompleksitas masalah keadilan di Indonesia, yang menurut Mahfud, sering kali tersendat di pengadilan.

Mahfud juga menyoroti isu-isu ketidakadilan lainnya yang kian mengemuka, salah satunya adalah rasa takut masyarakat terhadap aparat hukum yang dinilai kurang profesional. Kasus-kasus yang melibatkan tindakan sewenang-wenang oleh oknum aparat menambah daftar panjang rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat.

Mahfud mencontohkan kasus guru Supriani, yang menolak anak-anak polisi karena khawatir dikriminalisasi. Menurutnya, ini adalah salah satu bentuk dampak nyata dari ketidakadilan yang dirasakan masyarakat. Ketakutan akan dikriminalisasi oleh oknum aparat yang tidak bertanggung jawab memicu masyarakat untuk menutup diri, dan hal ini bukanlah indikator yang baik bagi kehidupan sosial di Indonesia.

Menurut Mahfud, rasa ketidakadilan ini harus segera diatasi, sebab jika dibiarkan, ia akan memicu gerakan ekstremisme di tengah masyarakat. Beliau juga mengingatkan bahwa ketidakadilan ini adalah tantangan serius bagi pemerintah saat ini, yang harus mampu memastikan bahwa seluruh elemen masyarakat dapat merasakan keadilan, tanpa memandang status atau posisi.

Melalui tayangannya, Mahfud menekankan pentingnya komitmen dari pemimpin negara untuk menangani persoalan-persoalan ketidakadilan ini. Dia menyinggung komitmen Presiden Jokowi di awal masa jabatannya untuk memberantas premanisme dan menegakkan keadilan. Presiden bahkan secara tegas memerintahkan jajaran TNI dan Polri untuk tidak bekerja sama dengan preman.

Mahfud menyayangkan komitmen yang kuat ini sering kali tersendat di lapangan karena sistem yang belum optimal dan lemahnya koordinasi di antara penegak hukum. Aparat yang sering kali “bermain di atas hukum” untuk kepentingan pribadi atau kelompok juga menjadi kendala besar dalam penegakan keadilan yang merata.

Pernyataan Mahfud MD di podcast Rhenald Kasali ini menjadi pengingat akan banyaknya pekerjaan rumah dalam pemerintahan saat ini, terutama yang berkaitan dengan isu keadilan, ketidakprofesionalan aparat hukum, dan tantangan dalam proses sertifikasi halal yang seharusnya mempermudah, bukan mempersulit masyarakat. Sebagai tokoh yang kerap mengedepankan keadilan dan transparansi, Mahfud MD memberikan pandangan yang bernas dan menggugah tentang kondisi bangsa saat ini.

Pernyataan ini diharapkan dapat menjadi bahan introspeksi bagi pemangku kebijakan, agar isu-isu ketidakadilan dan ketidakprofesionalan aparat tidak lagi menambah beban masyarakat. Dengan adanya komitmen dari semua pihak, diharapkan Indonesia bisa menjadi negara yang lebih adil dan berkeadilan, di mana setiap warganya merasa dilindungi dan diperlakukan setara.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *