Joint Development dengan China, Apakah Indonesia Akui Klaim Sepuluh Garis Putus?

  • Bagikan
Joint Development dengan China, Apakah Indonesia Akui Klaim Sepuluh Garis Putus?
Joint Development dengan China, Apakah Indonesia Akui Klaim Sepuluh Garis Putus?

MoneyTalk, Jakarta – Pada 9 November lalu Presiden Prabowo Subianto dan Presiden China, Xi Jinping, mengeluarkan Joint Statement. Salah satu poinnya menyebutkan tentang pengembangan bersama (joint development) di wilayah yang memiliki klaim tumpang tindih. Poin ini memunculkan pertanyaan besar terkait implikasi kebijakan luar negeri Indonesia terhadap klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus (Ten-Dash Line), terutama di wilayah perairan Natuna Utara.

Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, mempertanyakan apakah kesepakatan tersebut menandakan perubahan kebijakan Indonesia terhadap klaim China di Laut China Selatan. Jika benar area pengembangan bersama mencakup wilayah yang diklaim China melalui Sepuluh Garis Putus, hal ini berpotensi menjadi perubahan kebijakan yang sangat fundamental dan bisa berdampak luas pada geopolitik kawasan.

Klaim Sepuluh Garis Putus merupakan garis imajiner yang ditarik oleh China untuk menunjukkan wilayah yang mereka anggap sebagai bagian dari teritorial mereka di Laut China Selatan. Klaim ini mencakup hampir 90% dari wilayah Laut China Selatan, termasuk sebagian besar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diklaim oleh negara-negara lain seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia di Natuna Utara.

Klaim ini telah ditolak oleh Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2016 yang menyatakan bahwa garis tersebut tidak memiliki dasar hukum di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS). Indonesia selama ini konsisten tidak mengakui klaim China tersebut dan tidak pernah terlibat dalam negosiasi maritim dengan China terkait Sepuluh Garis Putus.

Prof. Hikmahanto Juwana menyoroti bahwa kesepakatan joint development dalam Joint Statement yang dirilis pada 9 November dapat diartikan sebagai pengakuan Indonesia terhadap klaim China atas wilayah yang sebelumnya tidak diakui. Menurutnya, joint development hanya dapat terjadi jika kedua belah pihak saling mengakui adanya klaim yang tumpang tindih.

“Bila benar area yang akan dikembangkan bersama berada di wilayah Natuna Utara, ini berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China telah berubah drastis,” ujar Hikmahanto.

Hal ini berpotensi melanggar berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia yang selama ini menegaskan bahwa wilayah tersebut adalah bagian dari ZEE Indonesia.

Keputusan Indonesia untuk bekerja sama dengan China di wilayah yang diklaim sebagai milik negara lain dapat menimbulkan reaksi keras dari negara-negara tetangga di ASEAN. Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam, yang juga memiliki klaim di Laut China Selatan, kemungkinan besar akan mempertanyakan posisi Indonesia dan bisa memperburuk ketegangan di kawasan.

Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang, yang menentang klaim China karena mengancam kebebasan navigasi di perairan internasional, juga bisa kecewa dengan perubahan sikap Indonesia. Ini dapat merusak hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara yang selama ini menjadi mitra strategis dalam menjaga stabilitas di kawasan Asia-Pasifik.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia diharapkan menjalankan kebijakan luar negeri yang transparan dan melalui proses konsultasi dengan legislatif. Prof. Hikmahanto menekankan bahwa jika joint development ini benar-benar terjadi, Presiden Prabowo seharusnya berkonsultasi dengan DPR untuk mendapatkan legitimasi. Apalagi, kebijakan ini akan berdampak besar pada kepentingan nasional Indonesia dan geopolitik regional.

Jika joint development ini benar-benar direalisasikan, yang mendapatkan keuntungan terbesar adalah China. “China bisa mengklaim bahwa Indonesia telah tunduk pada kepentingannya, yang bertolak belakang dengan pidato Presiden Prabowo di depan MPR bahwa Indonesia tidak akan berada di belakang negara adidaya mana pun yang sedang berkompetisi,” jelas Hikmahanto.

Selain itu, kesepakatan ini berpotensi memperkuat posisi China di Laut China Selatan, yang selama ini berusaha memperluas pengaruhnya di wilayah yang kaya sumber daya tersebut. China dapat memanfaatkan kesepakatan ini sebagai preseden untuk mendorong negara-negara lain di kawasan agar menerima klaim-klaim sepihaknya.

Keputusan Indonesia untuk terlibat dalam joint development dengan China di wilayah yang memiliki klaim tumpang tindih adalah isu yang sangat sensitif dan memerlukan kajian lebih lanjut. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, hal ini dapat merusak hubungan baik Indonesia dengan negara-negara ASEAN dan sekutu internasionalnya, serta mengubah peta politik di kawasan Asia Tenggara.

Pemerintah perlu menjelaskan secara transparan apa yang dimaksud dengan “overlapping claims” dalam Joint Statement dan memastikan bahwa kepentingan nasional Indonesia tidak dikorbankan demi kerja sama ekonomi jangka pendek. Di tengah dinamika geopolitik yang kompleks, Indonesia harus berhati-hati agar tidak terseret dalam persaingan kekuatan besar yang dapat merugikan stabilitas kawasan.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *