MoneyTalk, Jakarta – Belakangan ini dunia politik Indonesia diwarnai dengan kontroversi yang melibatkan Menteri Perumahan Rakyat, Maruarar Sirait, atau yang akrab disapa Bung Ara. Pernyataan Ara yang dianggap tidak menghormati Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah memicu reaksi keras dari berbagai pihak.
Kritik datang dari politisi senior hingga masyarakat biasa, yang melihat langkah Ara sebagai tindakan tidak pantas dari seorang menteri. Apakah pernyataan tersebut benar-benar mencerminkan ketidakpahaman Ara tentang posisi dan etika dalam politik, ataukah ada motivasi lain di baliknya?
Dalam pidatonya yang viral, Ara menyampaikan bahwa foto resmi yang dipasang di kementeriannya hanya memuat Presiden Prabowo Subianto, tanpa menyertakan foto Wakil Presiden Gibran. Ara mengklaim hal tersebut sudah melalui izin Gibran, dengan alasan “satu komando”. Namun, langkah ini justru dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk pelecehan terhadap posisi Gibran sebagai wakil presiden.
Sebagai seorang politisi berpengalaman yang pernah berkarir di bawah bendera PDIP sebelum akhirnya bergabung dalam kabinet Prabowo, Ara seharusnya memahami bahwa presiden dan wakil presiden dipilih bersama oleh rakyat, dengan visi dan misi yang saling terintegrasi. Mengesampingkan foto Gibran dengan dalih “satu komando” dianggap banyak pihak sebagai tindakan yang merendahkan dan tidak menghormati hierarki pemerintahan.
Tak butuh waktu lama, pernyataan Ara ini menjadi bahan perbincangan panas di media sosial, terutama di TikTok. Kritik tajam datang dari berbagai tokoh, salah satunya adalah Irma Suryani, politisi dan pengamat politik yang dikenal vokal.
Dalam wawancara di Zulfan Lindan Unparking pada Rabu (13/11), Irma menilai tindakan Ara sebagai penghinaan terhadap Gibran yang seolah-olah tidak dianggap penting dalam pemerintahan saat ini. Irma bahkan menyebut Ara “penjilat” yang hanya berusaha mencari perhatian dari pihak-pihak tertentu tanpa memikirkan dampak sosial dari ucapannya.
Menurut Irma, tindakan Ara tersebut tidak hanya merusak citra kabinet Prabowo-Gibran, tetapi juga membuka celah bagi kelompok-kelompok tertentu yang memang ingin membenturkan antara Prabowo dan Gibran. Sejak awal pembentukan kabinet, sejumlah pihak memang telah mencoba menciptakan narasi seolah-olah Prabowo dan Gibran tidak akur.
Banyak yang bertanya-tanya, apa sebenarnya motivasi Ara di balik pernyataannya tersebut? Beberapa pengamat politik menduga, Ara berusaha menunjukkan loyalitas ekstrem kepada Presiden Prabowo, bahkan dengan mengorbankan hubungan baik dengan Wakil Presiden Gibran.
Namun, menurut Irma, tindakan seperti ini justru bisa menjadi bumerang bagi Ara sendiri. Ia bisa dianggap sebagai beban bagi kabinet, terutama dalam 100 hari kerja pemerintahan yang seharusnya difokuskan pada stabilitas dan program kerja nyata. Dalam pandangan Irma, Ara terkesan terlalu ambisius dan ingin menunjukkan kedekatan dengan Prabowo serta kelompok pengusaha besar yang mendukungnya, tanpa memikirkan implikasi sosial dan politik dari tindakannya.
Menariknya, meski dihantam berbagai isu, Gibran tetap menunjukkan sikap yang tenang dan dewasa. Dalam beberapa kesempatan, Gibran bahkan menegaskan bahwa dirinya tetap loyal dan bekerja sesuai arahan Presiden Prabowo. Sikap ini justru memperlihatkan kematangan politik Gibran yang baru saja menjabat sebagai wakil presiden.
Presiden Prabowo pun dalam banyak kesempatan menegaskan bahwa kabinet yang ia bentuk adalah hasil dari kolaborasi dan bukan hanya sekadar balas jasa. Hal ini terlihat ketika Prabowo tetap menjalin komunikasi erat dengan mantan Presiden Jokowi yang menjadi mentor politik Gibran.
Kontroversi ini membawa pelajaran penting tentang bagaimana seharusnya seorang pejabat publik menjaga ucapan dan tindakannya di hadapan publik. Menghormati hierarki dan posisi sesama pejabat, terutama di tingkat nasional, adalah bagian dari etika yang harus dijunjung tinggi. Ara sebagai seorang menteri seharusnya lebih bijak dalam berbicara agar tidak menimbulkan kesan melecehkan atau meremehkan posisi orang lain.
Dengan semakin maraknya kritik dan reaksi negatif dari masyarakat, sudah saatnya Ara meminta maaf kepada Gibran dan publik. Hal ini bukan hanya untuk meredakan ketegangan, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa sebagai pejabat negara, Ara memiliki integritas dan kesadaran diri atas kesalahan yang ia perbuat. Sebagai bagian dari kabinet yang baru, fokus utama seharusnya adalah membangun sinergi, bukan justru menciptakan perpecahan yang tidak perlu.
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki rasa hormat dan etika dalam berkomunikasi. Ara perlu menyadari bahwa di tengah dinamika politik yang semakin kompleks, tindakan dan ucapannya akan selalu diawasi oleh publik. Ini adalah momen bagi Ara untuk introspeksi dan membuktikan bahwa ia layak dipercaya sebagai bagian dari pemerintahan yang baru.(c@kra)