MoneyTalk, Jakarta – RUU Perampasan Aset menjadi topik hangat dalam diskusi publik dan politik Indonesia dalam sesi wawancara di kanal YouTube SPASI pada Rabu, 13 November. Ir. Johan Budi, mantan juru bicara KPK, mengulas secara mendalam berbagai aspek mengenai RUU tersebut. Ia mengupas tantangan pengesahannya, alasan penundaan, dan harapan terhadap implementasinya.
RUU Perampasan Aset dirancang sebagai instrumen hukum yang memperkuat upaya penegakan hukum dalam memberantas korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Johan Budi menekankan bahwa langkah-langkah KPK dalam menangani kasus korupsi seringkali bergantung pada mekanisme operasi tangkap tangan (OTT). Meskipun efektif, OTT membutuhkan bukti yang kuat dan proses yang panjang. Oleh karena itu, penambahan perangkat hukum seperti RUU Perampasan Aset diperlukan agar penegakan hukum dapat mengejar aset koruptor lebih cepat dan efektif.
Pengesahan RUU Perampasan Aset telah diserahkan oleh Presiden kepada DPR pada Mei 2023, bertepatan dengan suasana politik menjelang Pilpres. Johan Budi menyoroti bahwa RUU ini masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional (Prolegnas) 2023-2024, tetapi belum dibahas secara mendalam oleh DPR. Beberapa faktor penyebab lambatnya proses ini termasuk prioritas pada undang-undang lain seperti RUU Kesehatan dan RUU DKI Jakarta.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa RUU ini tidak hanya menyasar pejabat publik, tetapi juga dapat menjangkau pihak swasta dan individu lainnya yang diduga menggelapkan pajak dan melakukan pelanggaran keuangan. Hal ini memicu perdebatan mengenai dampaknya terhadap kebebasan individu dan pengawasan ketat yang diperlukan terhadap aparat penegak hukum agar aturan ini tidak disalahgunakan.
Johan Budi menggarisbawahi bahwa kekhawatiran terbesar terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset datang dari dalam, termasuk anggota DPR dan pejabat lain yang merasa terancam. RUU ini membuka kemungkinan untuk merampas aset tanpa harus menunggu proses hukum yang panjang hingga putusan inkracht. Kekhawatiran ini diperparah oleh fakta bahwa integritas sebagian penegak hukum masih diragukan. Tanpa adanya jaminan bahwa aparat yang menjalankan undang-undang ini bersih dari korupsi, RUU Perampasan Aset bisa menjadi alat penyalahgunaan kekuasaan.
Menurut Johan Budi, jika Presiden ingin menunjukkan keseriusan dalam pemberantasan korupsi, ada dua langkah yang dapat diambil. Pertama, mendorong DPR untuk mempercepat pengesahan RUU ini. Kedua, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) jika situasi dianggap mendesak. Dukungan dari berbagai organisasi anti-korupsi, termasuk ICW, menunjukkan bahwa ada suara publik yang menginginkan regulasi ini segera disahkan.
Presiden baru, yang menyatakan komitmennya dalam mengejar pelaku korupsi, membawa secercah harapan bahwa RUU Perampasan Aset dapat disahkan dan diberlakukan dalam beberapa tahun ke depan. Namun, seperti yang disampaikan oleh Johan Budi, optimisme ini perlu diimbangi dengan upaya konkret dari berbagai pihak, termasuk mahasiswa dan masyarakat sipil, untuk terus mendorong transparansi dan akuntabilitas.(c@kra)