MoneyTalk, Jakarta – Masih menyimak wawancara di kanal YouTube Awalil Rizky pada Kamis (14/11). Yanuar Rizky membahas berbagai topik yang menarik perhatian terkait kebijakan ekonomi global dan dampaknya terhadap Indonesia. Yanuar mengangkat konsep Robin Hood sebagai strategi untuk memperkuat ekonomi nasional dengan mengambil pelajaran dari kebijakan intelijen ekonomi. Ia juga memberikan analisis mendalam terkait kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS dan dampaknya pada nilai tukar Rupiah serta perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Yanuar Rizky mengusulkan penerapan konsep “Robin Hood” dalam konteks kebijakan ekonomi nasional. Menurutnya, lembaga seperti Danantara perlu diperkuat dengan suplai dana yang berasal dari intelijen keuangan negara.
“Lembaga seperti Danantara akan mendapatkan suplai dana dari hasil intelijen keuangan Kementerian Keuangan,” ujar Yanuar.
Ia menekankan pentingnya peran presiden sebagai pengatur utama strategi ini dengan basis data intelijen yang komprehensif untuk memastikan kebijakan fiskal yang lebih efektif.
Pendekatan ini, menurut Yanuar, mirip dengan model “Robin Hood” yang dimodifikasi untuk kepentingan negara. Tujuannya adalah untuk mengambil dana dari sumber-sumber yang mungkin tidak optimal dikelola dan mengalihkannya ke sektor-sektor strategis yang mendukung pembangunan. Dalam konteks ini, negara perlu menjadi lebih agresif dalam memanfaatkan informasi keuangan dan sumber daya intelijen untuk memperkuat perekonomian nasional.
Ketika membahas dampak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS, Yanuar Rizky mengungkapkan bahwa reaksi pasar yang terjadi cukup cepat, di mana Rupiah langsung mengalami tekanan. Menurutnya, kekhawatiran ini disebabkan oleh kebijakan Trump yang dikenal agresif terhadap pasar negara berkembang (emerging markets).
Ini mengingatkan pada kebijakan Trump di tahun 2016, di mana kebijakannya mempercepat normalisasi kebijakan moneter dan menaikkan suku bunga, sehingga memukul mata uang negara-negara berkembang.
Yanuar mencatat bahwa pada 2016, kebijakan Trump sangat menekan emerging markets karena fokusnya pada kebijakan “Make America Great Again” yang menitikberatkan pada pertumbuhan domestik dengan cara yang lebih proteksionis.
“Pada waktu itu, Trump menghentikan jeda kebijakan moneter yang memberikan waktu bagi negara-negara berkembang untuk menyesuaikan diri. Hal ini berdampak besar pada Rupiah dan mata uang lainnya,” jelas Yanuar.
Yanuar menjelaskan bahwa sejak 2011, Federal Reserve (The Fed) mulai mempertimbangkan normalisasi neracanya setelah periode panjang quantitative easing. “Tapering off” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penghentian program stimulus moneter yang dikenal dengan pencetakan uang dan pembelian surat berharga oleh The Fed.
Dampak dari kebijakan ini menurut Yanuar terasa kuat di Indonesia. Pada 2013, istilah “Fragile Five” muncul untuk menggambarkan lima negara yang ekonominya rentan, termasuk Indonesia, Brazil, dan Turki, yang terkena dampak dari kebijakan pengetatan The Fed.
Yanuar juga menyoroti pentingnya kebijakan mitigasi yang diambil oleh Bank Indonesia pada masa itu. Menurutnya, strategi kebijakan yang diterapkan cukup efektif untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah meskipun tantangan eksternal terus meningkat.
Menariknya, Yanuar juga menyinggung kemungkinan perbedaan kebijakan ekonomi antara Trump dan tokoh dari Partai Demokrat seperti Kamala Harris. Menurutnya, Trump cenderung lebih pragmatis dan pro-pertumbuhan, dengan fokus pada inflasi yang lebih tinggi untuk mendorong ekonomi.
“Trump lebih agresif dalam kebijakan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan. Namun, ini bisa berdampak negatif pada stabilitas ekonomi global dan pada akhirnya menekan negara-negara seperti Indonesia,” ujar Yanuar.
Sebaliknya, Yanuar percaya bahwa Kamala Harris atau tokoh Demokrat lainnya mungkin akan mengambil pendekatan yang lebih moderat, meskipun agenda utama tetap mempertahankan dominasi ekonomi AS. Hal ini bisa memberikan ruang bagi emerging markets untuk menstabilkan ekonomi mereka.
Yanuar juga membahas bagaimana transformasi ekonomi Indonesia pasca-reformasi dipengaruhi oleh kebijakan global. Ia menekankan bahwa sejak 2008, strategi pemerintah Indonesia telah bergeser ke arah yang lebih monetaris. Hal ini disebabkan oleh trauma krisis 1998, di mana perbankan nasional terpukul oleh masalah kredit macet, sehingga akhirnya beralih ke instrumen keuangan yang lebih aman seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Namun, menurut Yanuar, kebijakan yang terlalu fokus pada sektor keuangan ini menimbulkan masalah tersendiri, terutama dalam hal pendanaan untuk sektor riil.
“Pasca-krisis, perbankan kita cenderung menjadi wealth management dengan memegang SBI dibandingkan menyalurkan kredit. Akibatnya, sektor riil tidak mendapatkan dukungan yang optimal,” jelas Yanuar.
Yanuar Rizky memberikan pandangan yang komprehensif mengenai bagaimana kebijakan ekonomi global dan politik internasional dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Dari konsep “Robin Hood” yang diajukannya untuk pengelolaan dana negara hingga analisis dampak kebijakan Trump, pandangan Yanuar menunjukkan bahwa Indonesia perlu lebih siap menghadapi dinamika ekonomi global. Hal ini termasuk dengan memperkuat strategi kebijakan fiskal dan moneter yang responsif terhadap perubahan di pasar internasional.(c@kra)