Moderat atau Islamphobia ?
MoneyTalk, Jakarta – Belakangan ini ada pendekatan yang keliru ketika berbicara tema-tema kebangsaan di negeri ini. Sejak pemerintah ini berkuasa, berbagai kebijakan mengundang tanda tanya masyarakat. Dimulai dari hal paling sederhana, salam lintas agama yang belum pernah ditemui sebelumnya. Sejak presiden pertama, salam diucapkan secara nasional atau Islam. Bisanya digabung antara “Assalamualaikum wr wb dan Salam Sejahtera”. Kedua salam itu dianggap sudah mewakili antara sisi agama mayoritas dan sisi nasionalnya. Tidak memaksakan diri menyebutkan semua salam berbagai agama yang didalamnya menyebutkan simbol ketuhanan masing-masing. Dan tidak ada yang ribut saat itu. Tidak juga membuat risih masyarakat untuk menghapalkan ucapan salam berbagai agama sambil merasa terganggu akidahnya. Ini nyata adanya, maka tidak heran banyak protes atas hal itu. Entah kenapa rejim saat ini seperti memaksakan hal itu dimana-mana.
Ada dua tema besar yang saat ini diusung secara besar-besaran; Revitalisasi Pancasila dan Moderasi Beragama. Yang pertama dilakukan dengan membentuk BPIP, sedangkan yang kedua menjadi tema besar Kementrian Agama. Begitu masifnya kampanye kedua tema ini, entah berapa banyak alokasi anggaran digelontorkan untuknya. Namun banyak pihak justru merasakan dibalik kampanye itu ada upaya mendangkalkan ekspresi keislaman (catat: khusus Islam) seakan menjadi moderat harus mengikuti standar tertentu, diantaranya salam pluralis tadi. Ekspresi kebangsaan bagi mereka berarti sesedikit mungkin menunjukkan ekspresi keagamaan (Islam). Dirasakan ada semacam alergi bahkan Islamofobia dibaliknya. Semakin jauh Islam diperhadapkan dengan nasionalisme. Semakin Islami ekpsresinya berarti semakin tidak moderat dan nasionalis, sebaliknya menjadi moderat dan nasionalis harus seminimal mungkin ekspresi keislamannya. Demikian kurang lebih cara pandang para pejabat yang terhormat itu.
Isu pelarangan jilbab bagi Paskibraka saat ini adalah turunan masalah dari masalah besar dibaliknya, tidak ada yang aneh karena pemangku kepentingan disana berideologi semacam itu. Entah bagaimana pemahaman mereka terhadap Sila Pertama Pancasila yang berisi ketuhanan. Penggunaan jilbab sebagai ekspresi pengamalan keislaman seorang Muslimah tiba-tiba seperti sebuah kesalahan dan kekurangan. Teringat bagaimana negara Perancis melarang jilbab dan salib dipakai di ruang publik. Perancis memang fundamentalis sekuler, lalu apakah negara kita ingin mengikuti negeri Barat tersebut? Sedemikian jauhkah tafsir Sila Ketuhanan Pancasila oleh para pejabat BPIP itu? Apa landasan tafsir semacam itu saya belum bisa merabanya.
Alhamdulillah sudah direvisi larangan tersebut, meski tidak nampak penyesalan atas kekeliruan itu. Belajar dari kasus ini, ke depan perlu lebih hati-hati, bahwa ‘keliaran’ cara berpikir filosofis sekalipun jangan sekali-kali menabrak nurani publik masyarakat Indonesia. Kita pun patut bertanya, perlukah keberadaan lebih lanjut lembaga BPIP ini, atau cukup ganti pimpinannya? Yang mengatakan dengan lantang, “musuh Pancasila adalah agama”, dan bukannya komunisme ya Prof? Sepertinya ada yang konslet disini.
Penulis Jamaluddin F Hasyim, Ketua KODI DK Jakarta dan Wakil Katib Syuriah PWNU DKJ_