Jokowi Bisa Tertabrak Private Jet Kaesang
MoneyTalk, Jakarta – Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tessa, menanggapi pernyataan mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, yang sebelumnya menyebut KPK tidak tegas dalam menangani dugaan gratifikasi yang diterima oleh Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo. Dugaan tersebut terkait penggunaan jet pribadi yang diduga sebagai bentuk gratifikasi.
“Semua pelaporan akan diperlakukan sama. Jadi, setiap warga negara di Indonesia ini tidak ada yang dibeda-bedakan. Bila alat buktinya lengkap maka dapat ditindaklanjuti,” kata Tessa saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (3/9/2024).
Mahfud MD sebelumnya menilai KPK masih ragu dalam menangani dugaan gratifikasi Kaesang. Ia menyebut bahwa KPK terlihat “mengulur-ulur waktu” dan “menunggu waktu untuk berhenti saja.” Mahfud juga mengkritik keterbatasan komunikasi publik KPK yang hanya diwakili oleh beberapa tokoh.
Kasus ini menyoroti potensi gratifikasi yang mungkin melibatkan Kaesang Pangarep. Penggunaan jet pribadi bersama istri, Erina Gudono, ke luar negeri menjadi bahan pembicaraan di kalangan publik, memicu spekulasi mengenai kepentingan-kepentingan bisnis atau politik di baliknya.
Pada Selasa (03/09), Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar memberikan pandangannya mengenai dugaan gratifikasi yang menyeret nama Kaesang Pangarep saat wawancara dengan Tribun Video.com dikutp MoneyTalk .id pada Rabu (04/09),
Kaesang Pangarep Terjerat Dugaan Gratifikasi, Abdul Fickar Hadjar minta KPK Harus Bertindak Tegas, yang saat ini menjadi sorotan publik karena penggunaan jet pribadi untuk bepergian ke luar negeri bersama istrinya, Erina Gudono.
Abdul Fickar menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu melakukan lebih dari sekedar klarifikasi terkait tindakan Kaesang tersebut.
Penggunaan Fasilitas oleh Pejabat Publik dan Potensi Gratifikasi
Menurut Abdul Fickar, dalam perspektif hukum pidana, penggunaan fasilitas yang diberikan oleh pihak lain kepada pejabat publik atau keluarganya memiliki potensi untuk dikategorikan sebagai gratifikasi.
“Ada kecemburuan di antara pejabat publik, meskipun tidak secara sengaja memanfaatkan jabatannya, karena sering kali masyarakat mempengaruhi pejabat dengan hadiah atau kenang-kenangan yang sebenarnya berkaitan dengan tugas dan kewenangannya,” jelas Fickar.
Fickar juga menambahkan bahwa pemberian fasilitas oleh pengusaha yang memiliki kepentingan terhadap keputusan atau kebijakan publik dapat dianggap sebagai gratifikasi. “Itu yang diantisipasi oleh Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, di mana pemberian fasilitas atau kemudahan oleh pengusaha kepada pejabat bisa dianggap gratifikasi,” tegasnya.
Langkah KPK Menjadi Sorotan
Mengenai langkah KPK yang diminta untuk mengklarifikasi Kaesang Pangarep terkait dugaan gratifikasi tersebut, Abdul Fickar berpendapat bahwa tindakan klarifikasi sudah sesuai dengan aturan hukum pidana yang berlaku. Namun, ia mengingatkan bahwa jika ditemukan bukti yang kuat, KPK harus meningkatkan status klarifikasi menjadi investigasi.
“Jika hanya klarifikasi, itu tindakan pencegahan. Tapi kalau ada bukti yang cukup, maka KPK harus meningkatkan statusnya menjadi penyidikan dan melakukan tindakan paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,” ungkap Fickar.
Perlu Kerja Sama dengan Penegak Hukum Luar Negeri
Saat ditanya apakah perlu ada kerja sama dengan penegak hukum di luar negeri untuk menyelesaikan kasus ini, Abdul Fickar menegaskan bahwa hal itu tergantung pada status tindakan yang dilakukan. “Kalau hanya klarifikasi, maka belum bisa dilakukan tindakan paksa. Namun, jika sudah masuk ke tahap penyidikan, maka KPK bisa meminta bantuan penegak hukum di luar negeri,” kata Fickar.
Mengharapkan Langkah yang Lebih Tegas dari KPK
Abdul Fickar juga mengkritik langkah KPK yang hanya melakukan klarifikasi dan bukan investigasi. Ia berharap KPK dapat lebih berani untuk meningkatkan status kasus ini ke penyidikan jika ada indikasi kuat dugaan gratifikasi.
“KPK diberi kewenangan luas oleh negara. Jika sudah ada indikasi kuat, maka langkah investigasi adalah yang paling tepat,” tandasnya.
Demikian pandangan Abdul Fickar Hadjar mengenai kasus yang menjerat Kaesang Pangarep. Masyarakat menunggu langkah selanjutnya dari KPK untuk menuntaskan kasus ini sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dikesempatan lain Abdul Fickar Hadjar, seorang pakar hukum pidana, menekankan bahwa KPK harus meneliti lebih dalam apakah ada keterkaitan antara fasilitas yang diterima Kaesang dengan posisi ayahnya sebagai Presiden.
Jika bukti kuat ditemukan bahwa fasilitas tersebut diberikan karena pengaruh jabatan Presiden, Kaesang bisa saja menghadapi jeratan hukum.
Namun, jika terbukti bahwa hubungan bisnis Kaesang dengan pihak pemberi fasilitas tersebut sudah ada jauh sebelum ayahnya menjadi Presiden, maka tuduhan gratifikasi ini bisa jadi tidak relevan. KPK memiliki waktu 30 hari untuk mengklarifikasi apakah kasus ini akan naik ke tahap investigasi penuh atau tetap di tingkat klarifikasi.
Hal ini ditekankan bahwa langkah-langkah lebih lanjut dari KPK sangat penting untuk menunjukkan komitmen mereka dalam penegakan hukum yang adil dan transparan, tanpa melihat posisi atau jabatan seseorang.(cakra)