Dewan Pengawas KPK Vonis Nurul Ghufron Melanggar Kode Etik
MoneyTalk, Jakarta – Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) telah memutuskan bahwa Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, terbukti melanggar kode etik lembaga tersebut. Ghufron dinyatakan bersalah karena menyalahgunakan pengaruh jabatannya untuk kepentingan pribadi, yaitu dengan meminta pihak Kementerian Pertanian (Kementan) memutasi seorang pegawai.
Dalam sidang etik yang digelar di Gedung Dewas KPK, Jakarta Selatan, pada Jumat (6/9/2024), Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, menyatakan bahwa tindakan Ghufron tidak sesuai dengan etika dan nilai-nilai yang harus dijunjung oleh seorang pimpinan KPK. Oleh karena itu, Dewas KPK menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis dan pemotongan penghasilan.
“Pemotongan penghasilan yang diterima setiap bulan di KPK sebesar dua puluh persen selama enam bulan,” ujar Tumpak dalam sidang tersebut.
Putusan ini menunjukkan komitmen Dewas KPK dalam menjaga integritas dan etika lembaga antikorupsi tersebut. Dewas KPK menekankan pentingnya bagi para pejabat di lingkungan KPK untuk mematuhi kode etik dan tidak menyalahgunakan wewenang demi kepentingan pribadi.
Kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran etik di lingkungan KPK dan diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak, terutama bagi para pejabat yang berkomitmen dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dewas KPK berharap dengan adanya sanksi ini, akan ada perbaikan dalam sikap dan perilaku para pejabat di KPK sehingga mampu mempertahankan kepercayaan publik terhadap lembaga antikorupsi ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghormati putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait gugatan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengenai persidangan etik di Dewan Pengawas (Dewas) KPK. “Iya, tentunya KPK menghormati putusan tersebut,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (3/9/2024).
Terkait persidangan etik Dewas KPK, Tessa menyampaikan bahwa Dewas KPK akan melanjutkan sidang etik pada Jumat, 6 September 2024. “Dewan Pengawas akan melakukan sidang kembali di hari Jumat pukul 2 siang. Untuk itu nanti kita tunggu saja sama-sama apa hasil dari putusan Dewan Pengawas tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya, PTUN Jakarta memutuskan bahwa gugatan Nurul Ghufron terkait persidangan etik di Dewas KPK tidak dapat diterima. “Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima,” seperti dikutip dari putusan tersebut, Selasa (3/9/2024). Selain itu, PTUN Jakarta juga menghukum Ghufron untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 442.000.
Dengan putusan ini, PTUN mencabut putusan sela mengenai penundaan pelaksanaan tindakan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran etik Nurul Ghufron. “Mencabut Penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 142/G/TF/2024/PTUN.JKT tanggal 20 Mei 2024 tentang Penundaan Pelaksanaan Tindakan Pemeriksaan atas Dugaan Pelanggaran Etik Atas Nama Terlapor Nurul Ghufron,” demikian kutipan dari putusan PTUN Jakarta.
Nurul Ghufron sebelumnya menggugat anggota Dewas ke PTUN Jakarta atas dugaan penyalahgunaan wewenang. Ghufron mengklaim bahwa dirinya merasa perlu melaksanakan tugas sebagai insan KPK setelah mengetahui dugaan pelanggaran oleh anggota Dewas. Namun, Ghufron tidak mengungkapkan siapa anggota Dewas yang dilaporkannya. Ia hanya menyebut bahwa terlapor meminta hasil transaksi keuangan pegawai KPK, yang menurutnya tidak sesuai dengan fungsi Dewas sebagai lembaga pengawasan.
Sementara itu, Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, mengungkapkan bahwa dirinya dilaporkan oleh Nurul Ghufron karena berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Koordinasi tersebut dilakukan untuk mengumpulkan bukti menindaklanjuti aduan dugaan Jaksa KPK berinisial TI terkait penerimaan suap atau gratifikasi. Menurut Albertina, Surat Edaran (SE) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Nomor 1 Tahun 2012 membolehkan pengawas berkoordinasi dengan PPATK. “Hanya saya yang dilaporkan, padahal keputusan yang diambil Dewas adalah kolektif kolegial,” ujar Albertina.
Kasus ini memperlihatkan kompleksitas dalam hubungan internal di tubuh KPK dan menjadi ujian bagi lembaga tersebut untuk terus menjaga profesionalisme dan integritas dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi.(c@kra)