Penurunan Harga Minyak dan Penguatan Rupiah Ancam Keuangan Negara dan Pertamina
MoneyTalk, Jakarta – Penurunan harga minyak mentah dunia merupakan ancaman serius bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Mengapa demikian? Karena pendapatan negara dari sektor minyak sangat bergantung pada bagi hasil minyak mentah, baik yang dijual di dalam negeri maupun yang diekspor. Setiap barel penjualan minyak hasil produksi nasional yang dibagi ke negara melalui skema cost recovery dan gross split akan semakin kecil porsinya jika harga minyak terus menurun.
Menurut Salamuddin Daeng, seorang ekonom yang juga pemerhati kebijakan energi, kondisi ini semakin parah ketika penurunan harga minyak disertai dengan penguatan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD). “Jika rupiah menguat terhadap USD, maka secara nominal, pendapatan negara dalam rupiah akan mengecil drastis,” ungkap Salamuddin melalui release tertulis yang di terima MoneyTalk.id pada Minggu (08/09).
Selama ini, pendapatan negara dari bagi hasil minyak dan gas (migas) bergantung pada pelemahan rupiah terhadap USD. Makin lemah rupiah, setoran bagi hasil migas akan tampak lebih besar. Namun, jika rupiah menguat, nilai setoran tersebut akan menyusut secara signifikan.
Hal serupa juga terjadi pada industri batubara yang diperjualbelikan dalam dolar Amerika, baik untuk penjualan domestik maupun ekspor. Para pengusaha batubara cenderung berharap nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah. “Jika nilai tukar melemah, setoran pajak ekspor batubara mereka akan tampak membesar, walaupun secara riil tetap mengecil,” ujar Salamuddin. Hal ini juga menjadi harapan perusahaan-perusahaan minyak lainnya.
Namun, ada perbedaan harapan di kalangan perusahaan batubara terkait harga jualnya. Mereka berharap harga batubara yang mereka perdagangkan berada di bawah Harga Batubara Acuan (HBA). Jika harga batubara yang dijual, misalnya ke China, berada di bawah HBA (misalnya USD 40 per ton), maka mereka tidak perlu membayar pajak ekspor.
Sementara itu, perusahaan minyak seperti Pertamina justru berharap harga minyak tinggi, di atas USD 100 per barel. Harga yang tinggi akan membawa beberapa keuntungan bagi Pertamina, antara lain:
– Pendapatan dari sektor hulu akan meningkat.
– Minat investasi di sektor hulu, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi migas, akan meningkat.
– Surat utang atau global bond perusahaan-perusahaan hulu migas, termasuk Pertamina, akan diminati investor.
Namun, jika harga minyak rendah atau terus menurun seperti yang terjadi saat ini, maka harapan investor untuk menanamkan modal di Pertamina akan hilang. “Ditambah lagi, surat utang Pertamina di sektor hulu tidak akan laku, dan tidak ada lembaga keuangan atau bank yang mau membiayai sektor ini. Kondisi ini bisa berujung pada kebangkrutan,” jelas Salamuddin.
Lebih buruk lagi, jika masyarakat mengetahui bahwa harga minyak mentah turun drastis, akan muncul tuntutan besar-besaran untuk menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri. Kondisi ini juga akan memperkuat alasan perusahaan swasta nasional lainnya untuk menuntut izin impor minyak sendiri, mengingat harga minyak di pasar internasional sangat rendah, sementara Pertamina menjualnya lebih mahal di dalam negeri.
“Inilah sebabnya mengapa penurunan harga minyak dan penguatan rupiah terhadap USD bisa menjadi ancaman besar bagi APBN dan merusak kondisi keuangan Pertamina. Masalah yang dihadapi semakin kompleks, salah satunya yang paling berat adalah potensi gagal bayar utang oleh pemerintah dan Pertamina,” ungkap Salamuddin. “Jadi, pertanyaannya sekarang adalah, apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan kondisi ini hingga tahun depan?” tutupnya.
Hal ini mengungkap tantangan berat yang dihadapi perekonomian Indonesia dalam menghadapi fluktuasi harga minyak dan nilai tukar.(c@kra)
Views: 0