Kebijakan Fiskal Gagal Total, Jauh dari Rencana RPJMN
MoneyTalk, Jakarta – Ungkapan kebijakan Fiskal gagal Total berasal dari Awalil Rizky dalam kanal YouTube miliknya pada Selasa (17/09). Kebijakan fiskal yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak periode pertama hingga saat ini dinilai gagal total.
Capaian fiskal yang ada bahkan sangat jauh dari target yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dan Indikator paling jelas dari kegagalan ini adalah ketidakmampuan pemerintah dalam meningkatkan rasio penerimaan pajak, salah satu penanda utama kinerja fiskal suatu negara.
Menurut Awalil Rizky, pada awal pemerintahan Jokowi pada tahun 2014, rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di sekitar 13%. Pemerintah menargetkan peningkatan rasio ini menjadi 18,5% pada akhir 2019. Namun, realisasi rasio tersebut jauh di bawah target, yaitu hanya 11,1%. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang diterapkan selama periode lima tahun pertama Jokowi tidak mencapai sasaran.
Upaya meningkatkan rasio pajak melalui program tax amnesty juga tidak memberikan hasil signifikan. Meskipun program ini berhasil menarik sejumlah modal kembali ke Indonesia, dampaknya terhadap peningkatan penerimaan negara di masa depan tidak sejalan dengan harapan. Program ini dianggap gagal memperbaiki data wajib pajak yang seharusnya menjadi dasar untuk meningkatkan pendapatan negara di tahun-tahun berikutnya.
Selama periode 2015-2019, pemerintah merencanakan untuk menekan defisit anggaran melalui peningkatan pendapatan negara dan pengendalian belanja. Namun, yang terjadi adalah defisit anggaran semakin melebar dari tahun ke tahun, jauh dari target RPJMN. Pada akhir 2019, rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai 30,23%, meningkat drastis dari 25% pada awal periode pertama Jokowi.
Dalam periode kedua Jokowi (2020-2024), meskipun pandemi COVID-19 menjadi faktor yang menghambat kinerja fiskal, target fiskal yang ditetapkan dalam RPJMN kedua tetap tidak tercapai. Pendapatan negara yang rendah dan pengeluaran yang jauh melebihi rencana semakin memperburuk kondisi defisit anggaran.
Seiring dengan defisit yang membengkak, utang pemerintah juga mengalami peningkatan tajam. Pada akhir 2020, rasio utang pemerintah sudah mencapai hampir 40%, jauh melampaui ambang batas aman yang selama ini dijaga oleh pemerintah sebelumnya. Walaupun masih di bawah batas bahaya yang ditetapkan oleh beberapa analis fiskal, yaitu 60%, tren peningkatan ini merupakan tanda bahaya yang tidak bisa diabaikan.
Sebagai perbandingan, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), rasio utang terhadap PDB menurun dari 56% pada awal pemerintahannya menjadi sekitar 25% di akhir masa jabatannya. Tren ini menunjukkan adanya keberhasilan dalam pengendalian fiskal pada masa itu. Namun, kebalikannya terjadi di era Jokowi, di mana rasio utang justru meningkat pesat, mencerminkan lemahnya pengelolaan fiskal.
Kegagalan pemerintah dalam mencapai target-target fiskal yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 dan 2020-2024 menunjukkan buruknya pengelolaan kebijakan fiskal selama pemerintahan Jokowi. Pandemi COVID-19 mungkin berdampak pada situasi fiskal, namun penyebab utama dari kegagalan ini berasal dari perencanaan dan implementasi kebijakan yang tidak tepat.
Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan fiskal yang telah diterapkan, terutama dalam hal pengelolaan utang dan usaha meningkatkan penerimaan negara. Jika tidak, Indonesia berisiko menghadapi krisis fiskal yang lebih besar di masa mendatang tutup Awalil Rizky. (C@kra)