PLTP di Indonesia Hanya Bikin Masyarakat Sengsara
MoneyTalk, Jakarta – Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia, yang selama ini dipromosikan sebagai alternatif ramah lingkungan pengganti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, ternyata membawa sejumlah dampak buruk bagi masyarakat setempat.
Berdasarkan riset dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), 15 dari 18 PLTP yang ada di Indonesia mengalami berbagai masalah, termasuk dampak lingkungan, kesehatan, dan konflik sosial.
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi panas bumi, dengan 362 lokasi yang tersebar dari Sumatera hingga Papua dan kapasitas terpasang mencapai 2.597,51 MW pada tahun 2023. Energi panas bumi sering dianggap sebagai solusi stabil untuk memenuhi kebutuhan listrik dasar (baseload) di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini membuat pembangunan PLTP semakin masif dalam beberapa tahun terakhir, terutama di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi, Sumatera, dan Jawa.
Namun, di balik ambisi tersebut, muncul berbagai masalah yang merugikan masyarakat lokal. Peneliti CELIOS, Atinna Rizqiana, atau yang akrab disapa Kiki, mengungkapkan bahwa dari 18 PLTP yang ada, 15 di antaranya menghadapi masalah serius yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
Salah satu masalah terbesar yang disebabkan oleh PLTP adalah dampak lingkungan, terutama terkait kekeringan yang terjadi di lahan perkebunan warga akibat emisi gas hidrogen sulfida (H2S) dari pembangkit. Kekeringan ini mengganggu produktivitas pertanian, yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat di sekitar proyek PLTP. Tanah yang awalnya subur menjadi kering, mengakibatkan menurunnya hasil pertanian dan memaksa warga mencari sumber pendapatan alternatif.
Selain kekeringan, pencemaran air juga menjadi masalah serius. Proses fracking, yang melibatkan penginjeksian air panas ke dalam lapisan batuan untuk mengekstraksi uap panas, sering kali menyebabkan rembesan pada air tanah yang mengandung bahan kimia berbahaya. Pencemaran ini memengaruhi kualitas air konsumsi warga, yang ditandai dengan perubahan warna, bau, rasa, dan suhu air. Kasus ini sering terjadi di wilayah PLTP Dieng, Jawa Tengah, di mana kebun warga yang terkena dampak sudah tidak lagi layak untuk pertanian.
Masalah lainnya adalah konflik lahan yang sering terjadi selama tahap eksplorasi dan eksploitasi panas bumi. Salah satu contohnya terjadi di PLTP Ulumbu, Poco Leok, NTT, di mana lahan adat sering diambil alih tanpa persetujuan masyarakat lokal. Proses sertifikasi dan pembangunan PLTP di lahan tersebut menyebabkan masyarakat kehilangan lahan garapan yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Selain itu, kecelakaan operasional di PLTP juga sering terjadi. Sejak 2007 hingga 2024, setidaknya 14 kecelakaan besar tercatat, termasuk di PLTP Sorik Marapi. Ledakan pipa panas bumi yang disebabkan oleh tekanan tinggi tidak hanya menyebabkan luka dan kematian, tetapi juga menimbulkan masalah kesehatan seperti keracunan gas, serta merusak kesuburan tanah di sekitar lokasi.
Meskipun PLTP sering dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, CELIOS menemukan bahwa kenyataannya justru sebaliknya. Proyek-proyek panas bumi di wilayah seperti Wae Sano, Sokoria, dan Ulumbu, NTT, diperkirakan merugikan ekonomi daerah sebesar Rp 1,1 triliun dan menyebabkan penurunan serapan tenaga kerja hingga 50.609 orang di tahun kedua operasionalnya.
Salah satu contoh adalah di Wae Sano, di mana warga menolak proyek PLTP karena khawatir akan dampak lingkungan dan ekonomi yang diakibatkan. Penolakan warga ini menyebabkan pembatalan investasi yang awalnya akan didanai oleh World Bank. Dampak lain dari pembangunan PLTP adalah pengurangan jumlah pekerjaan nasional sebesar 20.671 orang, yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan pertanian dan air.
Pendapatan petani di NTT juga menurun drastis hingga Rp 430 miliar selama tahap pembangunan PLTP. Hal ini menunjukkan bahwa proyek energi panas bumi ini tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan masyarakat lokal, khususnya dalam menjaga ketahanan pangan dan kesejahteraan ekonomi.
Pengembangan energi panas bumi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama terkait mitigasi dampak lingkungan dan sosial. CELIOS menekankan bahwa meskipun energi panas bumi menawarkan solusi energi bersih, implementasinya yang tidak bertanggung jawab dapat merugikan masyarakat dan lingkungan.
Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih serius dari pemerintah dan perusahaan pengelola PLTP untuk memastikan bahwa proyek-proyek ini tidak hanya berfokus pada keuntungan ekonomi semata, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Transparansi dalam proses sertifikasi lahan, penanganan dampak lingkungan, serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sangat penting untuk menghindari konflik dan memastikan bahwa proyek energi panas bumi dapat memberikan manfaat yang nyata bagi semua pihak.
PLTP di Indonesia yang awalnya diharapkan menjadi solusi energi bersih justru menimbulkan banyak masalah bagi masyarakat sekitar. Mulai dari pencemaran lingkungan, konflik lahan, hingga penurunan kesejahteraan ekonomi, proyek ini masih menyisakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan pelaku industri. Jika tidak dikelola dengan baik, pembangunan PLTP yang masif dapat membahayakan masyarakat dan merugikan ekonomi lokal di jangka panjang.(c@kra)