Mr. Q: Mahfud MD Salah Gaul
MoneyTalk, Jakarta – Pada acara Unparking Indonesia yang diselenggarakan oleh Zulfan Lindan, Senin (30/09), Muhammad Qodari atau dikenal sebagai Mr. Q mengeluarkan beberapa pernyataan kontroversial mengenai Mahfud MD. Dalam pernyataannya, Qodari menganggap Mahfud MD telah “salah gaul,” terutama dalam konteks hubungan politik yang berkembang pascadukungan Presiden Jokowi terhadap Prabowo Subianto sebagai calon presiden untuk Pilpres 2024.
Pada awal pembahasan, Qodari mengingat kembali momentum Pilkada serentak yang terjadi di masa pandemi Covid-19. Ia menggambarkan situasi Pilkada sebagai “ledakan nuklir Covid,” yang disebabkan oleh kerumunan massa selama kampanye. Saat itu, Mahfud MD yang menjabat sebagai Menko Polhukam berperan dalam mendiskusikan peraturan mengenai Pilkada. Qodari menyoroti bagaimana peraturan terkait Pilkada tidak dapat diubah hanya melalui PKPU karena terikat undang-undang yang lebih tinggi.
Qodari mengisahkan bahwa Mahfud MD bersama dengan Luhut Pandjaitan sempat merancang gagasan untuk menerbitkan Perppu terkait Pilkada. Namun, rencana tersebut akhirnya tidak terwujud, dan Pilkada tetap berlangsung meskipun pandemi belum mereda.
Selanjutnya Qodari menyoroti sikap Mahfud MD yang belakangan sering mengkritik Presiden Jokowi, terutama terkait kebijakan yang diambil Jokowi selama masa pemerintahannya. Menurut Qodari, Mahfud seolah-olah membedakan antara sembilan tahun pemerintahan Jokowi yang baik-baik saja, dan satu tahun terakhir yang dianggap tidak baik. Qodari merasa sikap ini tidak elok, mengingat dukungan Jokowi terhadap Mahfud selama ini.
“Kalau begitu, selama sembilan tahun Pak Mahfud gaulnya benar, setahun belakangan salah gaul,” ucap Qodari, yang menegaskan bahwa perubahan sikap Mahfud dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya. Menurut Qodari, Mahfud kini berada di lingkaran orang-orang yang memiliki kebencian dan dendam terhadap Jokowi.
Dalam pandangannya, Qodari menghubungkan perubahan sikap Mahfud dengan teori “epistemic community,” yang merujuk pada kelompok-kelompok dengan pemikiran dan ideologi yang sama. Menurut Qodari, Mahfud MD kini tergabung dalam komunitas yang dipimpin oleh Saiful Mujani (SM) – yang berlawanan dengan “mazhab Q,” komunitas yang dipimpinnya sendiri. Ia menegaskan bahwa lingkungan pergaulan bisa memengaruhi pandangan dan sikap seseorang, terutama dalam politik.
Qodari menggarisbawahi bahwa ketika seseorang “salah gaul,” dampaknya bisa berbahaya, terutama bagi mereka yang memiliki peran penting di panggung politik. Salah pergaulan, menurutnya, dapat mengubah seseorang dari yang sebelumnya objektif menjadi subjektif. Dalam konteks ini, Qodari mengkritik lembaga-lembaga survei yang tadinya objektif namun berubah karena “salah gaul,” hingga mempengaruhi hasil survei mereka.
Sebagai contoh, Qodari menyinggung tentang survei nasional yang biasanya dilakukan dengan sampel 1200 responden. Namun, belakangan ini ada survei yang menggunakan metode berbeda, seperti triangulasi yang menggabungkan data survei dengan diskusi kelompok terfokus (FGD). Qodari menilai metode ini tidak masuk akal karena menggabungkan dua paradigma yang berbeda, yakni kuantitatif dan kualitatif.
Pernyataan Mr. Q juga menyentuh kasus hukum yang melibatkan Adian Armando, yang dituntut oleh PDIP dengan tuduhan merugikan partai melalui sebuah video. Qodari, yang hadir sebagai saksi dalam persidangan, menjelaskan bahwa banyak komentar di media sosial yang tidak bisa dijadikan acuan karena adanya buzzer dan robot yang bisa memobilisasi opini.
Lebih jauh, Qodari menyinggung bahwa beberapa pihak, termasuk Mahfud MD, mungkin terpengaruh oleh kepentingan politik yang lebih besar. Ia mengaitkan sikap kritis Mahfud dengan kekecewaan Megawati dan PDIP terhadap keputusan Jokowi yang mendukung Prabowo, alih-alih Ganjar Pranowo. Qodari menduga bahwa ada agenda tersembunyi di balik sikap-sikap kritis ini, yang bertujuan untuk menghalangi Prabowo dilantik sebagai presiden jika menang dalam Pilpres 2024.
Pada akhirnya, Qodari menekankan bahwa politik yang dibangun atas dasar kebencian dan dendam tidak akan membawa dampak positif. Ia mengajak agar para elit politik, termasuk Mahfud MD, bersikap lebih bijak dan proporsional dalam menyikapi dinamika politik. Jika perbedaan pendapat atau kekecewaan terjadi, sebaiknya disikapi dengan dialog yang sehat dan tidak merusak tatanan demokrasi.
Ungkapan “salah gaul” yang dilontarkan Qodari menjadi sorotan, karena menggambarkan bahwa perubahan sikap Mahfud MD bukanlah murni hasil dari pemikiran independen, melainkan pengaruh dari lingkungan pergaulan politiknya yang kini berbeda.
Perdebatan ini mencerminkan betapa kompleksnya dinamika politik di Indonesia, terutama menjelang Pilpres 2024. Kritik terhadap Mahfud MD yang dianggap “salah gaul” memperlihatkan bagaimana elit politik bisa berubah pandangan sesuai dengan siapa mereka bergaul, dan bagaimana hal ini memengaruhi kebijakan serta opini publik yang mereka bawa. Apakah benar Mahfud MD “salah gaul”? Ataukah ini hanya bagian dari strategi politik yang lebih besar? Hanya waktu yang bisa menjawab.(c@kra)