MoneyTalk, Jakarta – Dalam konteks politik Indonesia saat ini, tema pengampunan atau amnesti menjadi semakin relevan. Terutama menjelang transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo Subianto. Dalam sebuah diskusi yang menarik bersama Peter Gontha, seorang pengusaha, mantan duta besar, dan politisi Nasdem, dalam podcast Akbar Faizal Uncensored Rabu (16/10), terungkap banyak hal mengenai kondisi negara dan harapan masyarakat terhadap kebijakan pemerintahan yang akan datang.
Peter Gontha mengungkapkan bahwa sistem demokrasi Indonesia saat ini memiliki kelemahan, yang terkesan feodalistis. Meskipun tidak mengingkari sejumlah pencapaian yang telah diraih oleh pemerintahan Jokowi, dia mencatat bahwa banyak kesalahan juga terjadi selama periode tersebut.
Dia menekankan pentingnya untuk “menutup buku” kesalahan masa lalu dan memulai halaman baru dengan penerapan amnesti oleh Prabowo Subianto. Ini bukan hanya mengenai pengampunan individu, tetapi juga tentang memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk melanjutkan hidup tanpa beban masa lalu yang mengganggu.
Prabowo, pada tanggal 20 Oktober mendatang, diharapkan dapat mengumumkan kebijakan amnesti ini, di mana semua kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh pejabat publik, hingga rakyat biasa, dapat dimaafkan. Ini adalah langkah yang berani dan strategis, karena akan membebaskan banyak pihak dari beban hukum dan stigma sosial yang mungkin tidak proporsional dengan kesalahan yang dilakukan.
Dalam diskusi tersebut, Gontha juga menjelaskan pandangannya tentang situasi ekonomi Indonesia. Ia menggarisbawahi bahwa meskipun ada masalah signifikan, seperti utang yang meningkat—yang melonjak 326% selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi—Indonesia tetap berada dalam batas-batas normal sebuah negara berkembang.
Ia membandingkan posisi ekonomi Indonesia dengan negara-negara lain, menunjukkan bahwa kita memiliki cadangan sumber daya yang melimpah, termasuk emas, nikel, dan batubara. Menurutnya, ketahanan ekonomi kita masih cukup baik jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Singapura.
Namun, dia mencatat bahwa untuk berkembang, negara harus berani mengambil langkah-langkah berani, termasuk mungkin meminjam lebih banyak untuk membangun infrastruktur dan industri yang diperlukan. Ini sejalan dengan ide bahwa untuk maju, pemerintah harus memiliki visi yang jelas dan komprehensif mengenai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa selama masa pemerintahan Jokowi, banyak praktik korupsi dan penyelundupan yang tidak terdeteksi, yang menyebabkan kerugian besar bagi negara. Menurut Gontha, hukum dan penegakannya harus diperkuat untuk mencegah tindakan tersebut di masa mendatang. Dia menyoroti bahwa ada potensi pendapatan yang hilang akibat korupsi yang bisa saja menutupi defisit anggaran yang mencapai ratusan triliun.
Dari sudut pandang ini, penerapan amnesti bisa menjadi alat untuk membersihkan suasana politik dan sosial yang dipenuhi ketegangan dan distrust. Jika rakyat merasa bahwa kesalahan masa lalu diampuni, mereka mungkin lebih termotivasi untuk berkontribusi positif terhadap pembangunan negara.
Dari diskusi antara Akbar Faizal dan Peter Gontha, jelas bahwa transisi kekuasaan yang akan datang harus ditandai dengan kebijakan yang berani dan inovatif. Prabowo Subianto memiliki kesempatan untuk memimpin dengan cara yang inklusif, mengampuni kesalahan masa lalu, dan memfokuskan energi untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penerapan amnesti tidak hanya sekadar tentang penghapusan dosa, tetapi juga tentang menciptakan keadilan sosial dan memberikan harapan baru kepada masyarakat yang selama ini terbebani oleh kesalahan dan kebijakan yang tidak adil. Ini adalah langkah penting menuju stabilitas dan kemajuan yang diharapkan oleh seluruh bangsa.(c@kra)