Ekonom: Jokowi Gagal di Bidang Ekonomi

  • Bagikan
Ekonom: Jokowi Gagal di Bidang Ekonomi
Ekonom: Jokowi Gagal di Bidang Ekonomi

MoneyTalk, Jakarta – Selama satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo, diskusi mengenai capaian ekonomi Indonesia terus menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Awalil Rizky, seorang ekonom yang kerap memberikan pandangan kritis di kanal YouTubenya, membahas secara mendalam kinerja ekonomi era Jokowi.

Ia menilai Pemerintahan Jokowi gagal memenuhi target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pemaparan ini menjelaskan secara rinci berbagai indikator yang menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tidak mencapai pertumbuhan yang diharapkan.

Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator utama untuk menilai keberhasilan suatu pemerintahan. Dalam RPJMN, pertumbuhan ekonomi menjadi target utama, dengan harapan bahwa Indonesia mampu mencapai rata-rata pertumbuhan 6% hingga 7%. Berdasarkan analisis Awalil Rizky, target ini tidak pernah tercapai selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode pertama dan kedua kepemimpinan Jokowi selalu di bawah target yang ditetapkan.

Rizky menjelaskan, meskipun ada penurunan target pada RPJMN kedua, kinerja ekonomi tetap tidak membaik. Pada tahun-tahun tertentu, pertumbuhan ekonomi bahkan stagnan di sekitar 5%, jauh dari target yang diproyeksikan pada angka 6,5%. Menariknya, pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), meskipun tidak semua target tercapai, ada beberapa tahun di mana target pertumbuhan ekonomi mendekati atau bahkan mencapai sasaran yang ditetapkan.

Salah satu kelemahan lain dalam perekonomian Indonesia selama era Jokowi adalah lemahnya struktur produksi nasional. Produksi barang dan jasa, menurut Rizky, tidak mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan seimbang. Hal ini ditandai dengan lambatnya pertumbuhan sektor manufaktur, yang seharusnya menjadi motor penggerak industrialisasi dan transformasi ekonomi.

Di banyak negara yang berhasil mengubah diri dari negara berkembang menjadi negara maju, sektor industri manufaktur memainkan peran penting. Industri manufaktur dianggap mampu memberikan nilai tambah, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, serta memperkuat ketahanan ekonomi eksternal melalui ekspor. Namun, di Indonesia, sektor ini tidak tumbuh sesuai harapan, bahkan menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun.

Dalam paparan Rizky, ia menyoroti bahwa pemerintah telah menargetkan sektor manufaktur tumbuh rata-rata 7,5% hingga 8,6% per tahun. Namun, kenyataannya, sektor ini tidak pernah mendekati target tersebut. Penurunan signifikan terlihat jelas selama periode kedua Jokowi, di mana target pertumbuhan manufaktur justru diturunkan, tetapi tetap tidak mampu dicapai.

Salah satu masalah utama yang disoroti dalam pemaparan Rizky adalah ketergantungan ekonomi Indonesia pada sektor asing, terutama dalam perdagangan internasional dan investasi. Ketergantungan ini membuat perekonomian rentan terhadap gejolak eksternal. Hal ini diperparah dengan tingginya persentase hasil produksi Indonesia yang dinikmati oleh pihak asing, bukan oleh masyarakat domestik.

Kebijakan investasi yang dicanangkan oleh pemerintah Jokowi memang berhasil menarik investor asing, namun belum mampu menciptakan dampak positif yang signifikan terhadap ekonomi lokal. Sejumlah besar keuntungan yang diperoleh dari sektor strategis, seperti energi dan mineral, lebih banyak dinikmati oleh pihak asing, sementara masyarakat lokal masih bergulat dengan masalah ketimpangan dan kemiskinan.

Dalam hal pengelolaan anggaran, pemerintah Jokowi juga dinilai gagal oleh Rizky. Salah satu indikator yang mencolok adalah defisit anggaran yang terus-menerus terjadi sepanjang pemerintahan Jokowi. Defisit ini, menurut Rizky, menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang diambil tidak tepat, sehingga menimbulkan beban tambahan pada perekonomian.

Selain itu, pengelolaan utang pemerintah juga dinilai mengkhawatirkan. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus meningkat, dan meskipun ada klaim bahwa utang ini digunakan untuk investasi produktif, hasilnya belum terlihat jelas dalam pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Hal ini membuat banyak pihak khawatir tentang kemampuan Indonesia untuk membayar utang-utang tersebut di masa depan.

Salah satu kritik utama Rizky terhadap kinerja ekonomi Jokowi adalah pertumbuhan PDB yang tidak seimbang. Meskipun PDB Indonesia secara total tumbuh, ketika dibagi dengan jumlah penduduk, pertumbuhan PDB per kapita jauh dari target yang ditetapkan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ekonomi secara keseluruhan tumbuh, hasil dari pertumbuhan tersebut tidak didistribusikan secara merata kepada masyarakat.

Pada awal pemerintahan Jokowi, target PDB per kapita pada tahun 2019 diproyeksikan mencapai 72 juta rupiah. Namun, realisasinya hanya sebesar 58,73 juta rupiah, jauh di bawah target. Pada RPJMN kedua, target PDB per kapita bahkan tidak lagi disebutkan, yang menunjukkan penurunan ambisi dalam capaian ekonomi.

Dari semua indikator yang dipaparkan oleh Awalil Rizky, kesimpulan yang muncul adalah pemerintahan Jokowi gagal dalam mencapai target-target ekonomi yang telah ditetapkan dalam RPJMN. Pertumbuhan ekonomi yang melambat, struktur produksi yang rapuh, ketergantungan yang tinggi pada sektor asing, serta pengelolaan anggaran yang tidak optimal adalah beberapa poin krusial yang perlu diperbaiki.

Evaluasi ini tidak hanya bersifat kritik belaka. Rizky menekankan pentingnya bagi pemerintah selanjutnya untuk mengambil pelajaran dari kegagalan ini. Kebijakan ekonomi harus dirumuskan dengan lebih matang, target harus realistis, dan pelaksanaan program harus lebih efektif agar ekonomi Indonesia dapat tumbuh lebih berkelanjutan di masa depan.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *