MoneyTalk, Jakarta – Dalam kondisi sosial dan ekonomi Indonesia yang sedang berusaha bangkit, isu terkait integritas dan kepentingan pejabat negara kerap menjadi sorotan. Salah satu figur yang banyak menuai kritik adalah Zulkifli Hasan, seorang politisi yang dianggap beberapa pihak sebagai “wabah penyakit” bagi Indonesia. Sebutan tersebut baru-baru ini dilontarkan oleh Hara Nirankara melalui sebuah pernyataan tertulis. Ia menyoroti bagaimana kebijakan-kebijakan Zulkifli Hasan dinilai merugikan masyarakat, khususnya pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Kebijakan yang Dinilai Menguntungkan Platform Asing
Isu terkini terkait dengan potensi masuknya platform asal China, TEMU, ke Indonesia. TEMU dengan model bisnis direct selling, menawarkan harga yang lebih rendah langsung kepada konsumen tanpa melalui perantara. Hal ini dinilai merusak pasar lokal karena produk mereka bisa dijual jauh lebih murah dibandingkan produk lokal yang melalui beberapa tahap distribusi hingga sampai ke tangan konsumen. Akibatnya, UMKM yang tidak mampu bersaing dalam harga akan terancam gulung tikar.
Pernyataan Kementerian Perdagangan yang dipimpin oleh Zulkifli Hasan, yang membuka peluang bagi TEMU untuk ekspansi di Indonesia asalkan mengikuti aturan, dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap UMKM. Sebagai salah satu pilar ekonomi Indonesia, UMKM berkontribusi besar pada perekonomian nasional. Namun, kebijakan yang mendukung platform asing tanpa memperhatikan dampak bagi pelaku usaha lokal menunjukkan kecenderungan orientasi laba yang lebih menguntungkan pihak luar ketimbang perlindungan pada ekonomi domestik.
Kontroversi Kebijakan Impor
Zulkifli Hasan selama masa jabatannya sebagai Menteri Perdagangan dan kini sebagai Menteri Koordinator Bidang Pangan dinilai sering kali membuat kebijakan yang lebih memudahkan produk impor. Salah satu contohnya adalah Permendag Nomor 7 Tahun 2024 yang memudahkan masuknya produk tekstil asal China. Kebijakan ini dituding merusak pasar tekstil lokal, hingga menyebabkan beberapa perusahaan tekstil besar seperti Sritex mengalami kebangkrutan. Bagi banyak pelaku usaha tekstil, produk-produk impor murah dari China menciptakan persaingan yang tidak sehat, mengingat biaya produksi di Indonesia relatif lebih tinggi.
Selain itu, ketergantungan pada impor pangan juga menjadi sorotan. Kebijakan ini dianggap menghambat upaya swasembada pangan yang sering digaungkan pemerintah. Sebagai Menteri Koordinator Bidang Pangan di bawah kabinet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, ada kekhawatiran bahwa kebijakan impor pangan akan semakin masif. Alih-alih berfokus pada program peningkatan ketahanan pangan dan produksi lokal, kehadiran Zulkifli Hasan dianggap lebih berpotensi memuluskan jalur impor untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Skandal Pelepasan Hutan dan Kontroversi Lingkungan
Dalam catatan sejarahnya, Zulkifli Hasan pernah terseret kasus dugaan suap alih fungsi hutan di Riau. Ketika menjabat sebagai Menteri Kehutanan di era kabinet SBY, ia memberikan izin pelepasan hutan sebesar 1,64 juta hektare, yang setara dengan sekitar 25 kali luas Jakarta. Langkah ini menuai protes dari organisasi lingkungan seperti Greenomics. Tindakan ini dinilai merusak hutan dan lingkungan Indonesia yang sangat penting bagi keberlanjutan ekosistem.
Pada sebuah momen yang cukup terkenal, aktor Harrison Ford sempat mengecam Zulkifli Hasan terkait kerusakan hutan Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, yang disebut telah kehilangan 80% tutupan hutannya dalam kurun waktu 15 tahun akibat eksploitasi. Namun, respons yang diberikan oleh Zulkifli Hasan kepada Ford justru terkesan meremehkan, di mana ia tertawa dan mengabaikan kritik tersebut. Respon ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi para aktivis lingkungan serta masyarakat yang peduli akan kondisi hutan Indonesia.
Dinilai Menghambat Kemajuan Ekonomi Indonesia
Berbagai kebijakan yang dianggap pro-impor dan kurang memperhatikan sektor lokal menunjukkan bahwa kepemimpinan Zulkifli Hasan dalam beberapa pos kementerian menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat. Pada masa jabatannya, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta penurunan daya beli masyarakat menjadi bukti betapa minimnya perhatian terhadap ekonomi rakyat kecil. Beberapa pihak menyebut bahwa ketidakmampuan dalam melindungi sektor domestik dan membiarkan produk asing merajai pasar lokal menunjukkan kurangnya komitmen pada pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
Dalam situasi seperti ini, kritik publik dan para pengamat terus berdatangan, terutama terkait keterlibatannya dalam kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Kritik ini kian meruncing dengan penunjukan Zulkifli Hasan sebagai Menteri Koordinator Bidang Pangan dalam kabinet Prabowo-Gibran. Banyak yang mempertanyakan bagaimana seseorang yang pernah mendukung kebijakan impor pangan dan produk asing bisa diharapkan untuk mencapai swasembada pangan.
Menyebut Zulkifli Hasan sebagai “wabah penyakit” tentu bukan tanpa alasan bagi sebagian orang. Kebijakan yang dinilai merugikan UMKM, ketergantungan pada impor, serta kontroversi terkait alih fungsi hutan menunjukkan bahwa banyak pihak yang merasa kepemimpinannya tidak membawa dampak positif bagi kemajuan bangsa. Di tengah tuntutan publik untuk perlindungan pasar lokal dan peningkatan ketahanan pangan, kebijakan yang tidak mendukung tujuan ini dinilai sebagai langkah mundur.(c@kra)