Kekayaan Alam untuk Siapa? Menyingkap Ketimpangan Pengelolaan Batubara Indonesia

  • Bagikan
Kekayaan Alam untuk Siapa? Menyingkap Ketimpangan Pengelolaan Batubara Indonesia
Kekayaan Alam untuk Siapa? Menyingkap Ketimpangan Pengelolaan Batubara Indonesia

MoneyTalk, Jakarta – Indonesia merupakan salah satu produsen batubara terbesar di dunia. Namun demikian, kontribusi sektor ini terhadap kesejahteraan rakyat masih menuai kritik tajam.

Dalam sebuah diskusi di Akbar Faizal Uncensored, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago, ekonom senior Poltak Hotradero, dan peneliti Kolaborasi Harkat-Nagara, Ahmad Jilul, mengungkapkan keprihatinan mereka terkait tata kelola sumber daya alam.

Diskusi yang diadakan pada Senin, 28 Oktober 2024 ini menyoroti kesenjangan besar antara pendapatan negara dari sektor batubara dan keuntungan yang dinikmati oleh segelintir elite.

Tata Kelola Sumber Daya Alam “Rasa Kolonial”

Andrinof Chaniago memulai diskusi dengan mengkritik pola pengelolaan batubara yang dianggapnya masih “rasa kolonial.” Menurutnya, Indonesia hanya memperoleh sekitar 11-12% dari pendapatan sektor ini, sementara sebagian besar keuntungan mengalir ke kantong pengusaha besar. Andrinof mengungkapkan bahwa seharusnya pemerintah memiliki kebijakan yang lebih progresif dalam mengatur bagi hasil, sehingga pendapatan negara bisa mencapai setidaknya 50% dari total laba industri batubara.

Andrinof menjelaskan bahwa kekayaan batubara yang berlimpah hanya dinikmati oleh sedikit pihak. Data menunjukkan bahwa negara hanya menerima sekitar Rp300 triliun selama dua tahun terakhir, padahal nilai produksi mencapai sekitar Rp3.300 triliun. Ia menggambarkan situasi ini sebagai eksploitasi besar-besaran yang terus meningkat selama satu dekade terakhir, tanpa perbaikan nyata dalam pendapatan negara.

Kesenjangan Keuntungan dan Pembebanan Utang Negara

Dalam diskusi yang sama, Ahmad Jilul menekankan kekhawatiran generasi muda atas kondisi utang negara. Tahun depan, bunga utang negara diprediksi mencapai angka Rp551 triliun, dan hal ini seharusnya menjadi alasan bagi pemerintah untuk memperhatikan ketimpangan dalam sektor batubara yang berpotensi mengurangi ketergantungan pada utang. Menurut Jilul, dengan reformasi tata kelola yang lebih adil, negara dapat memperoleh penerimaan yang cukup besar untuk meringankan beban anggaran.

Poltak Hotradero menambahkan perspektif ekonominya tentang sumber utang negara yang mayoritas berasal dari Surat Berharga Negara (SBN), yang notabene ditujukan kepada rakyat. Poltak menjelaskan bahwa kondisi keuangan negara tidak hanya disebabkan oleh pandemi global, tetapi juga karena kurangnya perhatian pada alokasi belanja dan kualitas investasi pemerintah. Ia mengkritik strategi keuangan yang tampak menguntungkan sekelompok kecil elite, sementara negara, yang mewakili rakyat, harus menanggung beban utang dan bunga yang besar.

Reformasi Sistem Bagi Hasil

Andrinof menyampaikan beberapa usulan konkret untuk memperbaiki sistem ini. Salah satunya adalah mengubah model bagi hasil agar negara memperoleh persentase yang lebih besar dari keuntungan. Andrinof menyarankan agar pemerintah menerapkan sistem royalti yang lebih progresif, atau setidaknya menaikkan royalti ke level yang wajar. Dengan peningkatan persentase penerimaan negara, Andrinof meyakini bahwa Indonesia dapat memperoleh tambahan sekitar Rp700 triliun dari sektor batubara saja. Jumlah ini dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan APBN dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.

Selain itu, Andrinof juga menyoroti bahwa kekayaan besar dari batubara sering kali dimanfaatkan oleh pengusaha untuk memperbesar pengaruh politik mereka. Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk “korupsi legal,” di mana kekayaan yang dihasilkan dari pengelolaan sumber daya alam digunakan untuk membeli kekuasaan. Andrinof berpendapat bahwa pemerintah harus meninjau ulang peraturan yang ada dan memutus “hubungan simbiosis” antara pengusaha dan politisi demi mengembalikan tujuan pasal 33 UUD 1945, yakni memakmurkan rakyat.

Membuka Jalan untuk Ekonomi yang Lebih Berkeadilan

Hal ini membuka mata banyak orang mengenai perlunya reformasi tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Pendapatan negara dari batubara yang hanya sekitar 11-12% menunjukkan ketimpangan yang mencolok, sementara kekayaan besar mengalir pada segelintir elite. Dari perdebatan ini, tampak jelas bahwa perubahan signifikan dibutuhkan dalam kebijakan royalti, bagi hasil, dan pendekatan pemerintah terhadap sektor tambang.

Dengan reformasi tata kelola yang lebih berkeadilan, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada utang dan memastikan bahwa kekayaan alamnya benar-benar digunakan untuk kemakmuran rakyat. Kritik yang disampaikan oleh Andrinof, Poltak, dan Jilul mengingatkan kita bahwa sektor tambang bukan hanya tentang keuntungan ekonomi, tetapi juga mengenai tanggung jawab sosial dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *