MoneyTalk, Jakarta – Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, tengah mengarahkan perhatian pada potensi pemasukan pajak dari underground economy atau ekonomi bawah tanah. Dalam penjelasannya kepada Komisi 11 DPR RI, Sri Mulyani menyatakan bahwa pemetaan terhadap berbagai jenis kegiatan ekonomi bawah tanah sedang dilakukan, termasuk aktivitas yang bersifat menghindari pajak (tax avoidance) dan yang ilegal.
Langkah ini diambil sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, di sisi lain muncul perdebatan dan pertanyaan mengenai realisasi potensi ini—apakah benar-benar dapat meningkatkan penerimaan pajak atau hanya sebuah gimik semata?
Ekonomi bawah tanah atau underground economy merujuk pada kegiatan ekonomi yang umumnya tidak terlaporkan kepada otoritas pajak. Berdasarkan klasifikasi Sri Mulyani, terdapat dua jenis utama dari aktivitas ini yaitu:
Pertama Kegiatan Penghindaran Pajak (Tax Avoidance): Kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk menghindari pajak melalui cara-cara manipulative, namun masih dalam batas legal. Seperti tidak melaporkan penghasilan secara akurat. Contoh kasus yang sering terjadi adalah manipulasi luas lahan dan praktik transfer pricing di sektor kelapa sawit.
Kedua Aktivitas Ekonomi Ilegal: Kegiatan yang bersifat kriminal, seperti perjudian, penyelundupan, narkoba, dan lain-lain. Aktivitas ini jelas bertentangan dengan hukum dan memiliki tantangan tersendiri dalam pemetaan pajaknya.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Bea Cukai Kementerian Keuangan sedang berupaya mengidentifikasi dan memetakan setiap jenis kegiatan ekonomi bawah tanah ini. Hingga November 2024, Bea Cukai berhasil mencegah potensi kerugian negara sebesar Rp3,9 triliun melalui penindakan terhadap 1.275 kasus penyelundupan. Pendekatan yang dilakukan adalah melalui.
Kerja sama lintas instansi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan untuk menangani aktivitas ilegal yang lebih kompleks.
Menteri Keuangan bersama Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, memperkirakan negara dapat meraih potensi pemasukan hingga Rp600 triliun dari aktivitas ekonomi bawah tanah ini. Angka ini cukup signifikan mengingat besarnya penerimaan negara yang selama ini belum tercatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Meski terdapat potensi besar, penerapan pajak pada underground economy menghadapi tantangan besar. Berikut beberapa tantangan utama yang dihadapi pemerintah.
Mengenakan pajak pada aktivitas ilegal akan menimbulkan perdebatan moral. Memungut pajak dari perjudian, misalnya, dapat mengesankan bahwa pemerintah “membenarkan” aktivitas ilegal tersebut. Hal ini tentu dapat menimbulkan gesekan dengan aparat hukum yang bertugas memberantas kejahatan.
Banyak aktivitas ekonomi bawah tanah yang melibatkan manipulasi data atau laporan keuangan yang sulit dideteksi. Misalnya, pada sektor kelapa sawit, praktik transfer pricing dan manipulasi luas lahan masih umum terjadi. Pendeteksian pelanggaran ini memerlukan teknologi yang lebih canggih serta penegakan hukum yang kuat.
Menurut Tri Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama Kresten Tax Research Institute, penting untuk menetapkan definisi yang jelas terkait apa yang dimaksud dengan underground economy di Indonesia. Ada aktivitas yang bersifat ilegal, sementara ada juga pendapatan yang tidak dilaporkan (unreported income), seperti transaksi dalam sektor UMKM. Kejelasan definisi ini penting untuk menentukan area mana saja yang dapat dikenai pajak tanpa bertentangan dengan aturan hukum.
Efektivitas upaya penarikan pajak dari underground economy memerlukan sinergi antara DJP, Bea Cukai, Kementerian Koordinator, dan aparat hukum. Kolaborasi ini penting untuk memastikan bahwa setiap aktivitas, baik yang tergolong penghindaran pajak maupun ilegal, dapat diidentifikasi dan ditindak secara tepat.
Sementara aktivitas ekonomi ilegal mungkin sulit untuk dikenakan pajak tanpa dilema hukum, aktivitas di sektor informal yang belum terdaftar berpotensi menjadi sumber penerimaan pajak baru yang lebih realistis. Sektor informal ini mencakup usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang selama ini mungkin belum sepenuhnya terjangkau oleh otoritas pajak.
Dengan memperluas basis pajak kepada sektor informal yang belum tercatat, pemerintah dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa mengesampingkan aturan hukum dan norma sosial. Langkah ini akan menjadi pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam memperkuat penerimaan pajak Indonesia.
Inisiatif pemerintah untuk mengenakan pajak pada ekonomi bawah tanah ini memang menjanjikan. Namun, tantangan yang ada tidak bisa dipandang sebelah mata. Langkah ini membutuhkan:
Kebijakan yang jelas untuk membedakan aktivitas ilegal dan aktivitas penghindaran pajak.
Penegakan hukum yang tegas untuk memastikan bahwa aturan pajak tidak melonggarkan kejahatan.
Dukungan teknologi dan data untuk mendeteksi aktivitas yang belum dilaporkan.
Jika pemerintah berhasil menyusun strategi yang kuat, pajak dari underground economy dapat menjadi sumber penerimaan negara yang signifikan dan berkontribusi pada target kenaikan penerimaan pajak hingga 13% pada 2025. Namun, tanpa langkah konkret yang efektif, potensi ini mungkin hanya akan menjadi gimik yang sulit terealisasi.(c@kra)