Mengupas Data dan Realitas Pembangunan Sektor Pertanian Era Jokowi

  • Bagikan
Mengupas Data dan Realitas Pembangunan Sektor Pertanian Era Jokowi
Mengupas Data dan Realitas Pembangunan Sektor Pertanian Era Jokowi

MoneyTalk, Jakarta – Mardigu Wowiek dalam tayangan terbarunya di kanal YouTube pada Senin (28/10), menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah yang kerap memamerkan data dan angka demi menunjukkan kesuksesan pembangunan sektor desa dan pertanian. Pemerintah kerap menyebut pencapaian seperti jumlah jalan desa, bendungan, dan irigasi yang dibangun sebagai indikator keberhasilan. Namun, Mardigu mengingatkan bahwa realitas di lapangan menunjukkan keadaan berbeda dan sering kali lebih kompleks dari sekadar data statistik.

Dalam pidato yang juga memuat kritik dari Prabowo Subianto, disebutkan bahwa terlalu berlebihan bagi Indonesia untuk sekadar berbangga sebagai bagian dari G20 atau menobatkan diri sebagai ekonomi terbesar ke-16 dunia, tanpa memahami permasalahan mendasar seperti tingginya angka kemiskinan. Data memang bisa menggambarkan kemajuan, tetapi data seharusnya tidak hanya bersifat positif untuk meraih popularitas. Sebaliknya menurut Mardigu, pemerintahan saat ini harus berani menampilkan data apa adanya agar bisa diambil langkah konkret dalam mengatasi persoalan ketahanan pangan dan kemiskinan desa.

Mengupas Data Ketahanan Pangan Indonesia

Mardigu melanjutkan dengan memaparkan hasil Global Food Security Index (GFSI) dari 2022, yang menunjukkan bahwa ketahanan pangan Indonesia memiliki skor sebesar 60,2, sedikit di bawah rata-rata dunia yang berada pada 62,2, serta lebih rendah dibandingkan rata-rata Asia Pasifik yang sebesar 63,4. Skor ini diperoleh dari penilaian empat indikator besar: keterjangkauan harga pangan, ketersediaan pasokan, kualitas nutrisi dan keamanan makanan, serta ketahanan sumber daya alam. Realitas ini menunjukkan bahwa, meskipun Indonesia berupaya membangun ketahanan pangan, banyak wilayah dan sektor masyarakat yang belum merasakan dampaknya secara merata.

Selain itu, Mardigu menyebut Global Hunger Index (GHI) dari FAO yang menunjukkan bahwa tingkat kelaparan Indonesia masih menjadi yang tertinggi ketiga di ASEAN dengan skor 16,9. Ini menjadi ironi tersendiri mengingat Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang menjadi anggota G20. Ditambah lagi, laporan BPS tahun 2023 mengungkapkan bahwa 60,69 juta orang atau jumlah tenaga kerja terbesar bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, tetapi sektor ini hanya menyumbang 12,4% dari PDB, jauh di bawah kontribusi sektor industri pengolahan yang sebesar 18,34%.

Ketidakadilan Sosial dalam Pembangunan Pertanian

Mardigu juga menyoroti kurangnya keberpihakan terhadap rakyat desa dan petani kecil. Pembangunan sektor pertanian selama satu dekade terakhir, menurutnya, telah gagal menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat pedesaan dan petani gurem. Meski banyak orang bekerja di sektor ini, sumbangan terhadap PDB rendah dan pertumbuhan sektor pertanian lambat. Realitas ini menunjukkan kesenjangan nyata antara janji pembangunan desa dan kondisi di lapangan, di mana sektor pertanian dan sumber daya desa kurang mendapat perhatian yang signifikan.

Inovasi Pertanian sebagai Solusi: Teknologi dan Kearifan Lokal

Tidak hanya mengkritik, Mardigu juga menawarkan solusi dan berbagi cerita tentang langkah nyata yang telah dilakukan komunitasnya untuk memajukan sektor pertanian. Selama tiga tahun terakhir, komunitas yang ia kembangkan bersama anak-anak muda dari berbagai daerah di Indonesia mengusung pendekatan baru dalam pertanian. Berangkat dari pengalaman keluarga sebagai petani, mereka menggabungkan kearifan lokal dengan teknologi modern seperti IoT (Internet of Things), AI, dan drone pertanian. Langkah ini dinilai membawa peningkatan signifikan pada hasil panen dan efisiensi produksi.

Di Desa Minggir, Yogyakarta, misalnya, mereka memulai proyek dari satu petak sawah seluas 2.600 m², yang kini telah berkembang menjadi 30 hektar. Pada masa tanam Desember 2024, mereka menargetkan perluasan hingga 50 hektar. Dengan memanfaatkan drone dan perhitungan yang teliti untuk setiap proses penanaman, pemupukan, penyiraman, dan panen, hasil panen dapat meningkat dari 5,3 ton beras per hektar menjadi 8,5 ton per hektar. Mardigu juga mengungkapkan bahwa model bisnis ini akan terus dikembangkan demi mencapai ketahanan pangan yang lebih baik.

Dukungan Nyata bagi Pertanian Lokal

Mardigu menyampaikan harapannya kepada pemerintahan saat ini, khususnya Presiden Prabowo Subianto, untuk terus mendukung sektor pertanian dan keberlanjutan UKM di pedesaan. Ia berharap kebijakan yang diambil tidak hanya sekadar menyelamatkan satu sisi sektor, tetapi mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan mendukung UKM berbasis agrikultur. Komunitasnya pun terbuka untuk menerima kunjungan pemerintah atau wakil rakyat untuk melihat secara langsung hasil nyata dari kombinasi teknologi dan kearifan lokal dalam dunia pertanian.

Dengan model pertanian yang memadukan tradisi dan inovasi, Mardigu yakin pertanian Indonesia masih memiliki masa depan cerah. “Semoga ke depan kita bisa memberikan peluang yang lebih besar bagi pertanian dan para petani di negeri ini,” pungkasnya, menyampaikan harapan agar pemerintah juga terus mendukung upaya-upaya yang bisa meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat desa. (c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *