Utang Meledak, Jokowi Lindungi Penambang Batubara, Demokrasi Melemah

  • Bagikan
Data Terbaru BI, Tinggi Sekali Utang Luar Negeri Indonesia?
Data Terbaru BI, Tinggi Sekali Utang Luar Negeri Indonesia?

MoneyTalk, Jakarta – Peningkatan utang negara Indonesia di era pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan ekonom dan pengamat. Di podcast Akbar Faizal Uncensored, yang digagas oleh Nagara Institute pada Senin (28/10), beberapa tokoh seperti mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, ekonom senior Poltak Hotradero, dan peneliti Ahmad Jilul dari Kolaborasi Harkat-Nagara, menyampaikan pandangan kritis terkait dampak kebijakan ini. Dalam diskusi tersebut, mereka menyoroti beberapa isu utama: peningkatan utang, ketergantungan pada sektor tambang batubara, melemahnya kelas menengah, dan risiko bagi stabilitas demokrasi Indonesia.

Utang Negara dan Relaksasi Defisit

Ahmad Jilul memulai dengan menyoroti kebijakan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang melonggarkan batas defisit anggaran untuk menangani krisis COVID-19. Sementara kebijakan ini awalnya dimaksudkan sebagai solusi jangka pendek, langkah tersebut menjadi awal dari lonjakan utang yang berkelanjutan hingga mencapai Rp 7.600 triliun. Kebijakan ini, menurut Jilul, telah menciptakan apa yang ia sebut sebagai “jaring laba-laba,” di mana keuangan negara menjadi semakin rapuh dan ruang fiskal menyempit. Mayoritas utang ditopang oleh Surat Berharga Negara (SBN) yang bunga pinjamannya mencapai 6,7 persen, yang termasuk paling tinggi di kawasan Asia Tenggara. Dengan bunga yang tinggi ini, Indonesia berada dalam risiko yang besar.

Ketergantungan Berlebih pada Batubara dan “Kolonialisme” Ekonomi

Dalam diskusi ini, Andrinof Chaniago membahas kebijakan pemerintah yang seolah-olah memberikan perlindungan istimewa kepada sektor tambang batubara. Menurutnya, ketergantungan Indonesia pada ekspor batubara, meskipun menguntungkan dalam jangka pendek, tidak berkelanjutan dan sangat rentan terhadap fluktuasi pasar internasional. Ia bahkan menulis artikel yang menyebut ketergantungan ini sebagai “Tata Kelola Batubara Rasa Kolonial.” Indonesia memang eksportir batubara nomor satu di dunia, namun bukan pemilik cadangan terbesar, sehingga pengelolaan sumber daya ini dinilai hanya menguntungkan sebagian kecil elite.

Chaniago mengkritik para pengusaha yang disebutnya “serakah” karena memanfaatkan kekayaan sumber daya alam tanpa memikirkan dampak jangka panjang bagi negara dan masyarakat. Kebijakan yang memberikan keleluasaan besar bagi sektor batubara ini dinilai hanya memperparah ketergantungan ekonomi Indonesia pada ekspor sumber daya mentah tanpa memberikan dampak positif yang signifikan terhadap penciptaan lapangan kerja. Hal ini menurut para pengamat, mengakibatkan masyarakat kelas bawah dan menengah tidak merasakan manfaat langsung dari pertumbuhan ekonomi.

Kelas Menengah yang Tergerus dan Risiko bagi Demokrasi

Poltak Hotradero menekankan pentingnya keberadaan kelas menengah sebagai penopang demokrasi yang sehat. Kelas menengah, dengan akses lebih besar terhadap pendidikan dan informasi, memiliki kesadaran politik yang lebih tinggi dan lebih mungkin untuk berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi. Namun, peningkatan beban utang yang terus-menerus dan ketergantungan pada sektor-sektor ekonomi tertentu, seperti tambang batubara, dinilai melemahkan daya beli serta kesejahteraan kelas menengah.

Hotradero juga menambahkan bahwa dalam situasi ekonomi yang menekan, kelas menengah cenderung menghadapi risiko pemiskinan. Apabila kelas menengah tidak terlindungi dan melemah, stabilitas demokrasi pun akan terganggu. Melemahnya kelas menengah akan berpotensi menurunkan partisipasi politik, menciptakan ketimpangan yang semakin dalam, dan memunculkan potensi konflik sosial. Untuk menjadi negara yang stabil secara politik, kelas menengah yang kuat merupakan pilar yang sangat penting.

Tantangan untuk Pemerintahan Baru

Di tengah segala kritik ini, Andrinof dan para pembicara lainnya mengharapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto dapat memperbaiki kondisi ini. Menurut mereka, sudah saatnya kebijakan ekonomi lebih berfokus pada penciptaan lapangan kerja, penguatan kelas menengah, dan pembatasan utang yang tidak produktif. Mereka menyampaikan harapan bahwa pemerintahan yang baru tidak akan mengulangi “dosa” ekonomi dari pemerintahan sebelumnya yang bergantung pada eksploitasi sumber daya alam dan penambahan utang tanpa kontrol.

Diskusi yang digelar oleh Nagara Institute ini memperingatkan mengenai masa depan ekonomi Indonesia yang berisiko apabila ketergantungan terhadap utang dan sektor tambang terus dipertahankan. Menurut mereka, ketergantungan ini hanya akan memperburuk ketimpangan sosial dan menggerus kekuatan kelas menengah, yang merupakan pilar utama dari stabilitas demokrasi. Dengan melihat dampak yang ditimbulkan, penting bagi pemerintah mendatang untuk segera melakukan perombakan kebijakan ekonomi yang lebih inklusif dan berorientasi pada pembangunan jangka panjang serta kemandirian ekonomi.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *