Ambisi Swasembada Pangan di Tengah Ancaman Kelaparan

  • Bagikan
Ambisi Swasembada Pangan di Tengah Ancaman Kelaparan
Ambisi Swasembada Pangan di Tengah Ancaman Kelaparan

MoneyTalk, Jakarta – Indonesia kini menghadapi tantangan besar dalam upaya mencapai swasembada pangan, sebuah ambisi nasional yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan tanpa bergantung pada impor. Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan target swasembada pangan dalam waktu 4-5 tahun, didukung anggaran sebesar Rp 139,4 triliun. Namun, di balik target ambisius ini, ancaman kelaparan dan ketahanan pangan yang rapuh menjadi sorotan utama. Berdasarkan data dan analisis Awalil Rizky, swasembada pangan bukan sekadar soal produksi yang melebihi konsumsi, tetapi juga mencakup kesejahteraan petani, akses masyarakat pada pangan yang cukup, serta kedaulatan pangan.

Swasembada pangan didefinisikan sebagai kondisi di mana produksi pangan domestik mampu memenuhi 90 persen kebutuhan nasional, sesuai standar FAO. Bagi Indonesia, swasembada pangan berarti tidak lagi bergantung pada impor, khususnya pada komoditas penting seperti beras, jagung, dan kedelai. Namun, produksi pangan dalam negeri menghadapi kendala signifikan, termasuk perubahan iklim, keterbatasan lahan, serta dukungan infrastruktur pertanian yang masih minim.

Menurut Menteri Pertanian Amran, pemerintah akan mencetak 3 juta hektare sawah baru, memperbaiki irigasi, dan mendukung alat dan mesin pertanian (alsintan). Meskipun demikian, ada kekhawatiran bahwa peningkatan produksi saja tidak cukup untuk mencapai ketahanan pangan sejati. Hal ini diperkuat oleh data Global Hunger Index (GHI) 2024, di mana Indonesia berada pada peringkat ke-77 dari 127 negara, dengan skor 16,9 yang tergolong “moderate.” Skor ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbaikan, ketahanan pangan Indonesia masih lemah dibanding negara lain di Asia Tenggara.

Data GHI menunjukkan bahwa angka stunting dan wasting pada anak-anak Indonesia masih cukup tinggi, meskipun ada perbaikan dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini mencerminkan rendahnya kualitas gizi yang diakses oleh masyarakat. Selain itu, permasalahan ketahanan pangan tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga di level daerah. Di provinsi seperti Papua, Maluku, dan Kalimantan Utara, persentase penduduk dengan konsumsi kalori tidak mencukupi (Prevalence of Undernourishment/PoU) masih sangat tinggi, bahkan mencapai lebih dari 30 persen.

Selain itu, ketergantungan pada impor pangan di Indonesia menunjukkan tren meningkat. Pada 2023, impor beras mencapai 3,06 juta ton dengan nilai US$1,79 miliar, dan pada 2024, angkanya diperkirakan akan terus naik. Fakta ini menimbulkan kerentanan terhadap fluktuasi harga global serta kestabilan pasokan pangan di dalam negeri.

Salah satu aspek penting dari swasembada pangan adalah kesejahteraan petani. Selama ini, banyak petani di Indonesia yang hidup dalam kondisi kurang sejahtera, khususnya petani gurem dengan luas lahan di bawah 0,5 hektare. Di era Jokowi, jumlah petani gurem meningkat, sementara luas lahan rata-rata menurun hingga hanya 0,15 hektare per petani. Kesejahteraan petani yang rendah berimplikasi langsung pada ketahanan pangan nasional, karena petani yang hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit cenderung tidak mampu meningkatkan produktivitas lahan mereka secara berkelanjutan.

Dalam hal distribusi, keterbatasan infrastruktur transportasi menyebabkan harga pangan melonjak di daerah yang jauh dari sentra produksi. Masalah ini diperparah oleh rantai pasokan yang panjang dan dikuasai oleh monopoli atau oligopoli. Akibatnya, petani tidak mendapatkan harga yang layak, sementara konsumen membayar harga tinggi. Untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan, pemerintah perlu memperbaiki sistem distribusi dan mengurangi ketergantungan pada impor.

Untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, pemerintah tidak bisa hanya fokus pada peningkatan produksi. Ketahanan pangan yang sejati mencakup tiga pilar utama, yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), dan stabilitas (stability). Pemerintah perlu memperhatikan distribusi yang merata dan aksesibilitas yang mudah bagi semua lapisan masyarakat. Di sisi lain, kedaulatan pangan juga penting, di mana Indonesia tidak sekadar mampu memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga memiliki kontrol penuh terhadap sistem pangan domestik tanpa bergantung pada sumber dari luar.

Alokasi anggaran yang besar untuk swasembada pangan merupakan langkah awal yang positif. Namun, efektivitas anggaran ini perlu diawasi dan dievaluasi secara transparan agar tepat sasaran. Pembangunan infrastruktur pertanian seperti irigasi, penyediaan alsintan, dan program cetak sawah harus disertai dengan pelatihan yang memadai bagi petani agar mampu memanfaatkan teknologi dengan optimal.

Ambisi swasembada pangan Indonesia adalah langkah penting untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Berdasarkan pandangan Awalil Rizky, ketahanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan, melainkan juga kesejahteraan petani, aksesibilitas pangan yang adil, dan kedaulatan pangan. Selain itu, pemerintah perlu menanggapi ancaman kelaparan dengan serius, mengingat indeks kelaparan global menunjukkan bahwa Indonesia masih berada pada tingkat kelaparan moderat.

Jika swasembada pangan hanya difokuskan pada peningkatan produksi tanpa memperhatikan kesejahteraan petani dan akses masyarakat pada pangan yang layak, maka ambisi ini akan sulit terwujud. Diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pihak untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan berdampak positif bagi seluruh rakyat Indonesia.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *