Posisi Penting Diisi Elite Partai, Pertamina Jadi Area Bancakan?

  • Bagikan
Posisi Penting Diisi Elite Partai, Pertamina Jadi Area Bancakan?
Posisi Penting Diisi Elite Partai, Pertamina Jadi Area Bancakan?

MoneyTalk, Jakarta – Perombakan Direksi dan Komisaris PT Pertamina baru-baru ini menjadi perbincangan publik. Salah satu yang vokal dalam memberikan kritik adalah Edy Mulyadi, pengamat politik, yang mengulas isu ini dalam kanal YouTube Forum News Network (FNN).

Ia menyoroti fenomena penunjukan elite Partai Gerindra pada posisi penting di BUMN raksasa. Menurut Edy, tindakan ini menimbulkan kesan Pertamina telah menjadi “area bancakan” bagi kekuatan politik, yang kini digantikan oleh partai Gerindra.

Sebagai salah satu perusahaan milik negara terbesar, Pertamina berperan sebagai lokomotif yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Kontribusi perusahaan ini kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat signifikan, terutama melalui sektor minyak dan gas (migas).

Karena posisinya yang strategis, penempatan pimpinan di perusahaan ini tidak hanya soal teknis, tetapi memiliki dampak besar pada keuangan dan energi nasional. Sejumlah pihak mempertanyakan, apakah penunjukan elite partai pada posisi ini semata untuk kepentingan rakyat atau hanya bancakan politik?

Pengangkatan Simon Aloisius Mantiri sebagai Direktur Utama Pertamina menggantikan Nicke Widyawati memicu kontroversi. Simon bukan sosok asing di kalangan Gerindra, karena ia dikenal dekat dengan Prabowo Subianto. Bahkan, dia turut aktif dalam kampanye pemenangan Prabowo dalam Pilpres 2024. Selain itu, Muhammad Iriawan atau lebih dikenal sebagai Iwan Bule juga menduduki posisi Komisaris Utama. Iwan Bule adalah mantan Kepala Polda Metro Jaya yang memiliki hubungan erat dengan Gerindra dan kini menjadi bagian dari Dewan Pembina partai tersebut.

Bagi sebagian orang, penempatan elite Gerindra di pucuk pimpinan Pertamina menunjukkan bahwa Pertamina kini dikelola oleh orang-orang partai yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, bukan oleh profesional independen. Sejumlah netizen bahkan menyebut perombakan ini sebagai “ganti panitia bancakan” yang bergilir dari satu partai ke partai lainnya.

Paradoks ini semakin tajam karena Prabowo dalam beberapa pidatonya mengingatkan pentingnya integritas pejabat negara. Ia juga menegaskan kepada para menteri agar tidak menggunakan anggaran negara untuk kepentingan partai atau pribadi. Namun, fakta bahwa elit partai ditempatkan pada jabatan strategis di Pertamina menimbulkan spekulasi, apakah pesan tersebut benar-benar diterapkan atau hanya sekadar retorika politik?

Edy Mulyadi menyebutkan bahwa situasi ini mencerminkan paradoks ala Prabowo. Sebagai figur yang memperingatkan para menterinya agar tidak mengeruk uang rakyat untuk kepentingan partai, tindakan penempatan orang-orang Gerindra di BUMN besar justru tampak bertentangan dengan ucapannya sendiri. Edy mempertanyakan, mengapa tidak ada profesional independen yang dipilih untuk memimpin perusahaan sekelas Pertamina?

Banyak yang khawatir bahwa penempatan orang-orang partai di BUMN strategis seperti Pertamina dapat menurunkan profesionalisme dan mengubah perusahaan menjadi ajang kepentingan politik. Fenomena ini bukan hal baru dalam sejarah BUMN di Indonesia, di mana pengangkatan berdasarkan kepentingan politik sering kali berujung pada penurunan kinerja perusahaan dan terjadinya praktik-praktik tidak sehat, seperti korupsi atau nepotisme.

Sebagai perbandingan, Edy juga menyebutkan Petronas, perusahaan migas nasional Malaysia, yang dinilai lebih maju dan profesional dibandingkan Pertamina. Hal ini, menurut Edy, disebabkan oleh adanya penempatan profesional yang kompeten dan minim intervensi politik di tubuh Petronas.

Isu ini menggambarkan dilema besar dalam tata kelola BUMN di Indonesia. Masyarakat berharap bahwa penempatan pimpinan di perusahaan-perusahaan besar seperti Pertamina seharusnya berdasarkan kemampuan dan profesionalitas, bukan kedekatan politik. Jika praktik ini terus berlangsung, dikhawatirkan akan berdampak pada efisiensi dan keberlanjutan perusahaan-perusahaan BUMN, termasuk Pertamina yang menjadi tulang punggung ketahanan energi nasional.

Ke depan, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan aspek profesionalisme dalam pengelolaan BUMN. Masyarakat berharap agar perusahaan negara dapat dikelola dengan transparan dan akuntabel tanpa adanya intervensi kepentingan partai, demi masa depan bangsa yang lebih baik.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *