PDIP Kritik Cawe-cawe Presiden Prabowo di Pilkada Jateng, Jubir Istana Dinilai Tak Paham UU

  • Bagikan
PDIP Kritik Cawe-cawe Presiden Prabowo di Pilkada Jateng, Jubir Istana Dinilai Tak Paham UU
PDIP Kritik Cawe-cawe Presiden Prabowo di Pilkada Jateng, Jubir Istana Dinilai Tak Paham UU

MoneyTalk, Jakarta – Dalam suasana panas sidang DPR yang digelar Senin (11/11), Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sitorus, melontarkan kritik keras terhadap Presiden Prabowo Subianto terkait dugaan “cawe-cawe” dalam Pilkada Jawa Tengah. Deddy menyatakan bahwa tindakan Prabowo sebagai presiden untuk mendukung salah satu pasangan calon gubernur di Pilkada Jateng melanggar prinsip netralitas yang seharusnya dijunjung oleh kepala negara.

Rapat kerja yang melibatkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, sejumlah pejabat daerah, serta para Penjabat (PJ) Kepala Daerah, Deddy Sitorus mengutarakan kekecewaannya terkait intervensi politik yang dinilai melibatkan instrumen negara. Menurut Deddy, Presiden Prabowo Subianto seharusnya tidak ikut campur dalam kontestasi politik lokal seperti Pilkada. Dia menyoroti pidato Prabowo yang sebelumnya menyatakan bahwa tidak akan ada “titip-titip” atau intervensi dalam pemilihan kepala daerah.

“Saya terharu mendengar Presiden Prabowo mengatakan tidak ada titip-titip, tapi kebahagiaan itu luntur ketika beliau menjadi endorser untuk salah satu pasangan calon di Jawa Tengah,” ujar Deddy dalam rapat yang berlangsung panas.

Deddy menilai, meskipun Prabowo memiliki hak sebagai Ketua Umum Partai Gerindra untuk mendukung kadernya, posisi sebagai Presiden membawa tanggung jawab netralitas.

Pernyataan Deddy tidak berhenti di situ. Ia juga menyinggung Juru Bicara Istana yang dianggapnya tidak memahami Undang-Undang terkait keterlibatan presiden dalam kampanye politik. Menurut Deddy, jika seorang presiden ingin melakukan kampanye, maka wajib mengambil cuti sebagaimana diatur dalam regulasi.

“Juru bicara Istana ini tidak paham UU. Undang-undang kita mensyaratkan kalau presiden ingin kampanye, maka harus cuti. Ketika seorang presiden mempromosikan satu calon, itu sudah masuk kategori kampanye, yang seharusnya diikuti prosedur yang ada,” tegas Deddy.

Menurut Deddy, tindakan Prabowo yang turun langsung mengendorse pasangan calon tertentu sebelum masa kampanye resmi dimulai bisa diartikan sebagai bentuk ketidakadilan. Ia khawatir bahwa hal ini bisa ditafsirkan sebagai penggunaan instrumen kekuasaan negara untuk mendukung kepentingan politik tertentu.

Selain menyinggung Presiden dan Juru Bicara Istana, Deddy juga menyoroti netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Ia mengungkapkan bahwa di beberapa daerah, intervensi politik oleh pejabat negara terlihat nyata dan masif, terutama dalam Pilkada.

“Kalau kita membiarkan pelanggaran hukum oleh mereka yang seharusnya menjaga netralitas, maka hasil akhirnya adalah kekacauan dan anarki,” ujar Deddy.

Ia menambahkan, ketidaknetralan ASN dapat memicu konflik sosial, terutama bila masyarakat merasa dicurangi dalam proses pemilihan.

Deddy mengingatkan bahwa Pemilu harus berlangsung jujur dan adil (jurdil). Menurutnya, ketidakadilan yang tercium secara terang-terangan dapat menyulut protes besar-besaran dari masyarakat.

Di akhir pernyataannya, Deddy Sitorus menegaskan bahwa Presiden Prabowo berutang penjelasan kepada publik terkait dugaan cawe-cawe dalam Pilkada. Ia mengingatkan bahwa jabatan Presiden bukan sekadar Ketua Umum partai, tetapi juga Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.

“Presiden harus menjelaskan bahwa instrumen kekuasaan negara tidak digunakan untuk cawe-cawe dalam Pilkada. Ini soal menjaga integritas dan netralitas institusi negara,” ujar Deddy, menyampaikan kekhawatirannya bahwa tindakan presiden dapat disalahartikan oleh bawahan di pemerintahan sebagai sinyal untuk ikut campur dalam proses Pilkada.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang hadir dalam rapat tersebut, diminta oleh Deddy untuk menunjukkan komitmen nyata dalam menegakkan netralitas ASN. Deddy mendesak Kemendagri untuk melakukan investigasi dan tindakan tegas terhadap pelanggaran netralitas ASN, bukan sekadar mengeluarkan surat edaran.

“Kami ingin mendengar laporan tindakan nyata dari Kemendagri, bukan hanya himbauan atau surat edaran. Tanpa tindakan tegas, ketidaknetralan ASN akan terus berlanjut,” ujar Deddy.

Pernyataan Deddy Sitorus mencerminkan kekhawatiran akan kondisi politik yang tidak sehat menjelang Pilkada Jawa Tengah. Kritik ini juga menjadi sorotan karena melibatkan sosok Presiden Prabowo, yang seharusnya menjaga netralitas sebagai kepala negara.

Dengan adanya dugaan intervensi yang melibatkan institusi negara, tantangan ke depan adalah memastikan Pemilu berlangsung secara transparan dan adil. Jika tidak, Indonesia berisiko menghadapi ketidakstabilan sosial yang lebih luas.

Melalui pernyataannya, Deddy Sitorus mendorong adanya langkah-langkah korektif dari Istana dan Kemendagri untuk menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi di Indonesia.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *