MoneyTalk,Jakarta – Kasus yang menimpa Ibu Guru Supriyani, seorang tenaga pendidik di Kecamatan Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, telah membuka kotak Pandora kebobrokan mental aparat di berbagai level pemerintahan daerah. Tidak hanya menjadi cermin bagi aparat penegak hukum, tetapi kasus ini juga mengingatkan kita semua akan betapa pentingnya menjaga integritas dalam melayani masyarakat.
Ibu Guru Supriyani, seorang tenaga pendidik honorer dengan gaji hanya Rp300.000 per bulan, menjadi korban kriminalisasi setelah diduga melakukan tindakan yang dipermasalahkan oleh oknum aparat polisi berinisial WH, yang melibatkan keluarganya. Kasus ini menjadi sorotan nasional setelah banyak pihak melihat adanya penyalahgunaan wewenang dan tindakan arogansi yang dilakukan oleh aparat setempat.
Kasus ini bermula dari aduan orang tua murid yang merupakan istri seorang anggota polisi, WH. Aduan tersebut memicu tindakan represif yang mengarah pada penahanan Ibu Guru Supriyani. Dalam prosesnya, investigasi yang lebih mendalam mengungkapkan adanya dugaan praktik pemerasan dan arogansi aparat di tingkat kecamatan dan kabupaten.
Hasilnya, Kapolsek, Kanit Reskrim, dan Kasat Reskrim dicopot dari jabatannya, sementara Bupati Konawe Selatan dipanggil oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memberikan klarifikasi terkait somasi yang sempat diajukan terhadap Guru Supriyani.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa penyalahgunaan kekuasaan sekecil apa pun dapat menimbulkan efek besar. Sebagaimana disampaikan di kanal YouTube Anak Bangsa TV, kejadian ini menjadi simbol bahwa “kita sering jatuh bukan karena batu besar, tetapi karena kerikil kecil.” Apa yang dianggap remeh oleh oknum-oknum aparat justru menjadi bumerang yang menjatuhkan mereka sendiri.
Arogansi aparat dan pejabat daerah bukan hanya terjadi di Konawe Selatan. Kasus serupa kerap terjadi di berbagai daerah, menunjukkan pola penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi rakyat. Misalnya, kasus di Deli Serdang, di mana oknum TNI melakukan tindakan kekerasan hingga mengakibatkan korban jiwa. Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap tugas utama aparat sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
Dibalik tragedi ini, Ibu Guru Supriyani menjadi simbol keberanian dan ketabahan. Sebagai seorang tenaga pendidik, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya tetapi juga memberikan pelajaran berharga kepada bangsa ini tentang pentingnya melawan ketidakadilan. Berkat dukungan masyarakat luas, termasuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), suara beliau didengar hingga ke tingkat nasional.
Namun, perjuangan ini belum selesai. Kasus ini mengingatkan kita untuk terus menekan pemerintah agar memberikan penghargaan yang layak bagi guru honorer seperti Supriyani, yang telah mengabdikan dirinya selama lebih dari 20 tahun dengan upah yang jauh dari layak. Guru adalah pilar pendidikan, dan mereka seharusnya mendapatkan pengakuan serta dukungan maksimal.
Sebagaimana disampaikan oleh Rudi di Anak Bangsa TV, “kasus ini adalah angin segar yang membuka tabir kebobrokan aparat di daerah.” Kita berharap, tidak ada lagi Supriyani-Supriyani lain yang harus menjadi korban arogansi dan ketidakadilan. Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus bercermin dari kasus ini untuk menciptakan sistem yang lebih adil, transparan, dan berpihak kepada rakyat.
Supriyani bukan hanya seorang guru. Beliau adalah simbol perjuangan rakyat kecil melawan penindasan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan keadilan dan kebenaran tetap menjadi landasan utama dalam membangun bangsa yang bermartabat. Salam keadilan untuk Ibu Guru Supriyani dan semua pejuang pendidikan di Indonesia.(c@kra)