MoneyTalk, Jakarta – Publik Indonesia dikejutkan dengan kabar penahanan seorang jaksa asal Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Jovi Andrea Bachtiar. Penahanan dilakukan setelah ia mengkritik seorang rekan kerja, Nella Marsella, yang diduga menyalahgunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadi.
Kritik ini disampaikan Jovi melalui akun media sosialnya. Kritik berujung pada tuntutan hukum atas tuduhan pencemaran nama baik yang dilayangkan oleh Nella. Kasus ini memicu perdebatan luas, antara batasan kritik dalam koridor etika, kebebasan berekspresi, dan penggunaan kekuasaan di institusi penegakan hukum.
Jovi mengkritik penggunaan mobil dinas oleh Nella melalui sebuah unggahan di akun TikTok-nya pada Rabu, 13 November 2024. Dalam unggahannya, Jovi menyampaikan keluhannya terhadap rekan kerja yang ia sebut menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi. Ia mempertanyakan alasan jaksa bisa dituntut karena menyuarakan kritik demi kepentingan publik alih-alih ditindak atas dugaan tindakan yang dianggap tidak sesuai etika, seperti penyalahgunaan fasilitas negara.
“Jaksa dituntut oleh jaksa. Sayangnya jaksa yang dituntut bukan karena pemerasan, suap, atau gratifikasi, tapi karena mengkritik penggunaan mobil dinas demi kepentingan umum,” tulis Jovi di akun TikTok-nya.
Kritik ini berujung pada laporan hukum yang dilayangkan oleh Nella Marsella atas tuduhan pencemaran nama baik. Jovi kini menghadapi ancaman pidana selama dua tahun penjara, dengan tuduhan mendistribusikan dan mengakses informasi elektronik bermuatan kesusilaan berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UU ITE.
Menanggapi kasus yang menjadi viral ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengeluarkan pernyataan bahwa kejaksaan tidak melakukan kriminalisasi terhadap pegawainya. Menurut Harli, Jovi yang “mengkriminalisasi dirinya sendiri” karena mempublikasikan permasalahan personal tersebut di media sosial. Harli menjelaskan, tindakan Jovi dianggap menimbulkan interpretasi publik yang bias terhadap institusi kejaksaan.
“Yang bersangkutan mencoba membelokkan isu sehingga masyarakat terpecah pendapatnya di media sosial,” ujar Harli pada Kamis, 14 November 2024.
Harli menyatakan, kasus ini menyangkut dua persoalan terpisah: pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan permasalahan pidana berdasarkan UU ITE. Sementara tindakan Jovi dianggap bersifat personal, ia tetap dikenai sanksi administratif karena telah melanggar aturan disiplin kerja dengan tidak hadir selama 29 hari dalam periode tertentu.
Selain menghadapi dakwaan pidana, Jovi dikenakan sanksi disiplin berat sebagai PNS. Berdasarkan peraturan pemerintah, PNS yang tidak masuk kantor selama 29 hari tanpa keterangan resmi dapat dikenakan sanksi tegas. Jovi yang dilaporkan memiliki rekam jejak absen tanpa alasan jelas, akhirnya diberhentikan sementara dari statusnya sebagai jaksa, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan terkait batasan kebebasan berekspresi, terutama dalam lingkungan birokrasi yang menuntut etika dan kedisiplinan. Sebagai jaksa, Jovi memiliki kewajiban untuk menjaga integritas serta nama baik institusi. Namun, publik banyak yang mempertanyakan apakah kritik terhadap penggunaan fasilitas dinas layak diganjar dengan ancaman pidana.
Sejumlah pihak juga menilai bahwa penerapan UU ITE dalam kasus ini perlu dicermati. Pasal 27 ayat 1 UU ITE kerap digunakan dalam kasus pencemaran nama baik, namun banyak aktivis hak digital yang menilai bahwa UU tersebut sering disalahgunakan untuk membungkam kritik.
Sebagai bentuk transparansi, Kejaksaan Agung menyertakan sejumlah bukti tangkapan layar (screenshot) dari unggahan Jovi di media sosial yang ditujukan kepada Nella Marsella. Harli menekankan bahwa upaya mediasi telah diusahakan sebelum proses hukum berlanjut. Namun, menurut Harli, Jovi kerap mengalihkan isu sehingga masalah ini kian berkembang ke ranah publik.
“Selama ini sudah dilakukan upaya pembinaan dan mediasi, tetapi yang bersangkutan justru mengalihkan isu di media sosial seolah-olah dirinya adalah pendekar hukum dan kebenaran,” ujar Harli.
Kasus ini mendapatkan perhatian luas dari masyarakat yang terbagi pendapatnya. Di satu sisi ada yang mendukung tindakan Kejaksaan Agung dalam menjaga etika dan disiplin pegawai. Di sisi lain, sebagian masyarakat melihat tindakan hukum terhadap Jovi sebagai bentuk pembungkaman terhadap kritik internal dan menyoroti penggunaan UU ITE yang dianggap kontroversial.
Aktivis hak digital dan organisasi kebebasan pers juga menyatakan keprihatinan bahwa penggunaan UU ITE dapat melemahkan kebebasan berbicara dan mengekspresikan pendapat, terutama jika diterapkan dalam lingkup internal institusi pemerintah.(c@kra)