Soal APBN Jadi Jaminan Proyek Kereta Cepat, DPR: Bukan Solusi Ideal
JAKARTA, MoneyTalk – Anggota Komisi VI DPR RI Achmad Baidowi mendesak pemerintah untuk bersikap tegas terhadap China atas permintaannya untuk menjadikan APBN Indonesia sebagai penjamin pinjaman utang Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
Menurutnya, negosiasi penambahan utang KCJB sebesar Rp8,3 triliun dengan pihak kreditur China perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia saat ini tengah memutar otak akibat bengkaknya biaya proyek atau cost overrun Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung sebesar USD1,2 miliar. China pun mematok bunga utang sebesar 3,4 persen jauh lebih tinggi dari harapan pemerintah yakni 2 persen.
“Kami menilai, kenaikan biaya konstruksi atau cost overrun terjadi akibat perencanaan proyek yang kurang matang, sehingga selama proyek dijalankan terdapat kenaikan biaya bunga, biaya tenaga kerja, hingga biaya pembebasan lahan,” ujar Awiek sapaan Achmad Baidowi.
“Kondisi tersebut seharusnya sudah tercermin pada saat uji kelayakan proyek dilakukan. Kesalahan dalam perencanaan, tidak bisa hanya dibebankan kepada pihak BUMN dan pemerintah Indonesia,” lugasnya.
Pihaknya juga menegaskan jika Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung secara finansial memiliki masa pengembalian investasi yang cukup panjang dan dipastikan dapat memberikan risiko yang sangat besar bagi APBN.
Untuk itu, ia meminta pemerintah untuk waspada terhadap skenario debt trap.
“Kami meminta agar Pemerintah waspada terhadap skenario debt trap atau jebakan utang dimana proyek yang membebani BUMN dan anggaran Negara sengaja diciptakan dengan skenario tertentu oleh pihak kreditur sehingga pengelolaan aset strategis nasional pindah ke tangan asing,” sambungnya.
Pihaknya juga menegaskan jika penjamin utang dengan skema APBN bukan solusi ideal saat ini.
“Saat ini APBN sedang mengejar target defisit wajib kembali ke bawah 3% sebelum 2024, sementara belanja perlindungan sosial, pengendalian inflasi, belanja pendidikan dan belanja rutin wajib diprioritaskan pemerintah,” lugasnya.
“Ruang fiskal jelas akan semakin tertekan jika utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung dijaminkan APBN, meski bentuknya penjaminan tetap ada risiko APBN yang terlibat dalam pembayaran bunga dan cicilan pokok apabila konsorsium Kereta Cepat mengalami kesulitan pembayaran utang,” kata dia.
Menurut anggota DPR RI Dapil Madura ini pemerintah mesti dapat mendesak China agar komitmen dengan kesepakatan awal.
“Proyek Kereta Cepat awalnya adalah Business to Business sehingga permasalahan pembengkakan biaya selama proyek berjalan dapat diselesaikan dengan mekanisme bisnis, bukan melibatkan APBN yang notabene hasil pungutan pajak masyarakat,” tegas dia.
Oleh karena itu, Politisi Fraksi PPP tersebut meminta pemerintah untuk menaikkan daya tawar terhadap pihak kreditur China dalam mencari jalan keluar hutang Kereta Cepat.
“Pemerintah sebaiknya menawarkan penjaminan melalui aset Kereta Cepat atau pemisahan risiko di PT PII. Masih banyak opsi yang rendah risiko dan tidak menimbulkan tekanan keuangan Negara khususnya ketika risiko gagal bayar tinggi. Pemerintah juga dinilai perlu terus transparan mengungkapkan kepada masyarakat konsekuensi dari tiap skema yang dipilih,” pungkasnya.