Revolusi Tanpa PKS

0

MoneyTalk, Jakarta – Tensi Politik ditanah air semakin meningkat, gejolak penolakan terhadap hasil Baleg DPR RI atas Revisi UU Pilkada meluas hampir diseluru daerah sebagai ungkapan peduli demokrasi yang diciderai, hhal ini tak luput dari pantauan Tokoh 80an Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle melalui tulisannya pada Kamis (22/08).

 

dalam pengamatan Syaganda langkah politik yang diambil Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terhadap perlawanan rakyat tidak sejalan, perlawanan Rakyat Indonesia selama sepuluh tahun ini mengalami persimpangan jalan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua bulan sebelum rezim Jokowi berakhir, PKS, ternyata menunjukkan militansinya membela Jokowi dan keluarga Jokowi.

syaganda juga mengamati putra jokowi kaesang pangarep dalam kontestasi Pilkada, Baik ditunjukkan dalam beberapa event pertemuan dengan Kaesang maupun militansinya menolak keputusan Mahkamah Konstitusi 60 dan 70 terbaru. Walhasil, PKS menjadi bagian dari rezim Jokowi, yang selama ini dilawannya.

**Hasil Baleg DPR dalam Revisi UU Pilkada: Persyaratan Calon yang Dinilai Melanggar Konstitusi**

Baru-baru ini, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang mencakup sejumlah perubahan signifikan, termasuk persyaratan bagi calon kepala daerah. Namun, revisi tersebut menuai kritik tajam dari berbagai kalangan karena dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi yang ada.

Persyaratan Calon yang Menuai Kontroversi, salah satu poin kontroversial dalam revisi UU Pilkada yang disetujui Baleg adalah penambahan persyaratan khusus bagi calon kepala daerah. Persyaratan ini dianggap membatasi hak politik individu dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Misalnya, terdapat usulan untuk memperketat persyaratan minimal pengalaman dalam pemerintahan, yang dinilai membatasi ruang bagi calon independen atau kandidat muda yang belum memiliki pengalaman panjang dalam birokrasi.

Reaksi Publik dan Ahli Konstitusi, sejumlah ahli hukum tata negara dan pengamat politik mengkritik keras revisi ini, dengan alasan bahwa persyaratan tambahan tersebut melanggar prinsip kesetaraan di depan hukum dan hak politik warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Mereka berpendapat bahwa revisi ini berpotensi mencederai demokrasi, karena hanya menguntungkan kelompok tertentu yang sudah mapan dalam politik.

Publik juga menunjukkan reaksi negatif terhadap revisi ini. Banyak yang melihatnya sebagai upaya untuk mempertahankan status quo dan menghalangi munculnya pemimpin baru yang dapat membawa perubahan. Demonstrasi dan aksi protes muncul di berbagai daerah, menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap langkah DPR yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Pendapat Mahkamah Konstitusi selain kritik dari masyarakat dan akademisi, Mahkamah Konstitusi (MK) turut menyoroti potensi pelanggaran konstitusi dalam revisi UU Pilkada ini. MK berwenang meninjau ulang dan membatalkan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa pihak telah mengajukan permohonan uji materi ke MK untuk menggugat sahnya persyaratan baru tersebut.

MK sebelumnya telah menegaskan bahwa persyaratan pencalonan yang bersifat diskriminatif dan tidak sejalan dengan prinsip demokrasi harus dihapus. Oleh karena itu, banyak pihak yang berharap MK akan membatalkan ketentuan baru ini jika terbukti melanggar konstitusi.

Implikasi bagi Masa Depan Pilkada, jika persyaratan yang dinilai melanggar konstitusi ini tetap diberlakukan, hal tersebut dapat menimbulkan preseden buruk bagi proses demokrasi di Indonesia. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang partisipasi seluruh elemen masyarakat berpotensi berubah menjadi arena terbatas bagi mereka yang memiliki akses dan kekuatan politik yang besar.

Namun, jika uji materi di MK berhasil dan ketentuan ini dibatalkan, maka hal tersebut akan menjadi kemenangan bagi upaya mempertahankan demokrasi yang inklusif dan adil di Indonesia. Proses Pilkada yang transparan dan adil adalah salah satu pilar penting bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia, dan persyaratan calon yang sesuai dengan konstitusi adalah bagian tak terpisahkan dari hal tersebut.

Revisi UU Pilkada oleh Baleg DPR ini menjadi sorotan publik karena dinilai melanggar konstitusi, terutama terkait persyaratan calon kepala daerah. Keputusan akhir terkait hal ini akan sangat bergantung pada Mahkamah Konstitusi, yang diharapkan dapat menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak politik warga negara sesuai dengan konstitusi.

menurut syaganda Perlawanan rakyat semesta atas rezim Jokowi, terkait dengan penolakan DPR atas keputusan MK yang menganulir peluang pencalonan Kaesang dan memberikan peluang pencalonan Anies Baswedan dalam pilkada, terjadi massif saat ini.

Perlawanan itu dilakukan dalam spektrum luas, mulai dengan para Dewan Guru Besar berbagai Universitas, mahasiswa, kaum buruh, parpol progresif, pendukung Anies sampai para artis-artis.

Dan hasilnya hari ini DPR gagal memutuskan UU Pilkada baru versi keinginan rezim Jokowi itu. Sejatinya perlawanan ini untuk mempertahankan demokrasi kita.

suaganda menganggap Hilangnya PKS dalam peta perlawanan rakyat tentu saja dapat dilihat sebagai kemurnian perjuangan Bangsa Indonesia. Sebab, selama ini peta perjuangan militan yang didalamnya ada PKS selalu menjadi kecurigaan barat, karena PKS seringkali dianggap bagian dari perjuangan PAN Islamisme, seperti Ikhwanul Muslimin.

syaganda mencontohkan kejadian diluar negeri, di Bangladesh, misalnya, gerakan mahasiswa yang menjatuhkan rezim Syaikh Hasina, bulan lalu, dituduh India (protector rezim Syaikh Hasina) ditunggangi Jemaat Ala Islami, sebuah organisasi Pan Islamisme berpusat di Pakistan dan sangat berhubungan dengan Ikhwanul Muslimin.

Kerugiannya bagi para kelompok perlawanan adalah kehilangan massa militan. Sebab, PKS merupakan satu-satunya partai Islam ideologis yang mempunyai basis massa jutaan. Apakah massa militan PDIP, yang baru bergabung dalam kelompok perlawanan, dapat menggantikan peran PKS?

“Apakah massa Anies bisa menjadi massa Islam militan, menggantikan PKS? Ini sebuah pertanyaan besar. Sebab, massa PDIP selama 10 tahun ini justru menjadi kelompok pelindung rezim Jokowi, sebelum Jokowi “menghina” keberadaan PDIP dan Megawati”, celoteh Syaganda.

Tanpa adanya massa militan, memang susah untuk mewujudkan adanya sebuah revolusi. Padahal revolusi sosial itu diinginkan rakyat kita untuk menganulir keinginan Jokowi membangun politik dinasti.

Kita berharap jika revolusi tidak terjadi, tentunya pemberontakan sosial harus tetap ada, sampai elit-elit yang berkuasa kembali menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, konstitusi dan pengabdian pada bangsa.

“Setidaknya, kita berharap dua bulan kurang sisa rezim Jokowi, perlawanan tetap ada. Dan berharap rezim Prabowo nantinya kembali pada spirit bernegara yang benar” tutup Syaganda. c@kra)

Leave A Reply

Your email address will not be published.