Sistem MPR Diganti Dengan Demokrasi Mbelgedes
MoneyTalk,Jakarta – Kita sudah terlalu lama dipaksa memakai baju asing yang tidak sesuai dengan badan dan hati sanubari, seperti individualisme, liberalisme, dan kapitalisme yang telah menggerogoti dan memporak-porandakan tatanan nilai dan jati diri sebagai bangsa.
Kita sudah banyak kehilangan kedaulatan bahkan sudah di titik nadir, hanya sebagai permainan bangsa lain atas nama demokrasi liberal yang sekarang justru para guru besar dan akademika dengan tidak malu mendukung sistem demokrasi mbelgedes banyak banyakan suara.
Dimulai dari berlakunya UUD hasil amendemen sejak 2002, dan berlaku sistem presidensial, di mana MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi badan bikameral dengan kekuasaan yang lebih besar (strong legislative).
Dibanding dengan sistem MPR kedaulatan rakyat benar-benar terwujud bukan hanya suara yang terwakili tetapi juga pikiran pikiran yang mewujudkan didalam GBHN.
Ternyata tidak berhenti disitu MPR atas nama kedaulatan rakyat mempunyai hak veto bisa menurunkan presiden jika Presiden menyeleweng dari GBHN.
MPR juga menjadi pintu darurat jika negara dalam keadaan genting .
Bandingkan dengan sistem Demokrasi liberal demokrasi mbelgedes kedaulatan rakyat hanya berlaku lima menit dibilik suara dan seorang Profesor lulusan ITB,UI,UGM ,bahkan luar negeripun sama suara nya dengan seorang kuli bangunan suara nya .
Orang-orang pintar ini juga tidak bisa mewakilkan pikiran pikiran nya yang heran para guru besar itu kok memuja demokrasi mbelgedes seperti ini.
Sejarah Indonesia bukan tidak perna menjalankan demokrasi mbelgedes seperti ini .
Padahal, antara 1949 sampai 1959, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer dan terbukti tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang amat diperlukan untuk pembangunan bangsa, karena dalam waktu empat tahun terjadi 33 kali pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999).
Cita-cita masyarakat yang adil dan makmur tidak mungkin terwujud jika diletakan pada sistem individualisme, liberalisme, kapitalisme seperti sekarang ini. Bagaimana mungkin kekayaan Ibu Pertiwi dikuasai segelintir orang dan
mengatasnamakan liberalisme demokrasi asing, bisa seenaknya menguras kekayaan akibat bangsa tidak lagi berdaulat?
jika pasal 1 ayat 2 UUD1945 tidak dikembalikan menjadi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dijalankan MPR ” atas dasar ayat inilah, MPR menjadi lembaga tertinggi negara dan Presiden menjadi mandataris MPR untuk menjalankan GBHN.
Sistem pemerintahan sendiri
Setelah MPR mengesahkan amendemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial.
Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi.
Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam batang tubuh dan Penjelasan UUD 1945.
Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ketiga cabang yakni, legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh Montesquieu.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu-pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Bila dipelajari secara mendalam notulen lengkap rapat-rapat BPUPK sekitar 11 Juli–15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang terdapat pada Arsip AG Pringgodigdo dan Arsip AK Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita dapat menyelami kedalaman pandangan founding fathers tentang sistem pemerintahan negara
Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesia.
Pada sidang tersebut, Prof Soepomo, Mr Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa trias politica ala Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Sebaliknya, sistem presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan.
Pertama, sistem presidensial mengandung risiko konflik berkepanjangan antara legislatif–eksekutif.
Kedua, sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir.
Ketiga, cara pemilihan winner takes all seperti dipraktikkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat demokrasi Pancasila.
Indonesia yang baru merdeka menggunakan “sistem sendiri” sesuai usulan Dr Soekiman, anggota BPUPK dari Yogyakarta, dan Prof Soepomo, Ketua Panitia Kecil BPUPK.
Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidential, Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem MPR.
Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial.
Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan para perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer.
“Sistem sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan.
Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem presidensial.
Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer, di antaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat.
Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undang-undang
Permusyawaratan perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial,
Bung Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia.
kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.
bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga lembaga permusyawaratan perwakilan.
Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan amendemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945.
Kalau pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya politik economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif.
Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial.
Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektivitas yang tinggi.
Berbeda dengan pemikiran BPUPK dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para pengamandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial.
Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif-legislatif kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock.
Karenanya sistem presidensial kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPK dan PPKI menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara.
Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di dunia.
Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara … Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan legislatif …”
Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada sistem parlementer atau bahaya political paralysis pada sistem presidensial, apabila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR.
Para perancang konstitusi seperti Prof Soepomo sudah mengingatkan kita semua, untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum dasar tersebut.
Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika amendemen UUD 1945 dilakukan.
Jangan lupa, kita pernah babak belur dalan dua sistem di 1950an. Kita mengunakan sistem parlementer yang berakhir dengan dekrit presiden 5 Juli 1959 kembali ke UUD 1945 dan sekarang dengan sistem presidensil yang justru bangsa menjadi pecah dan rusaknya tata nilai.
Amin Rais dan para pengamandemen serta Megawati Soekarno Putri yang menandatangani UUD 2002 hasil amandemen harus bertanggungjawab atas kerusakan negara ini .Amandemen terhadap UUD1945 tanpa didahului naskah Akademik dan didahului dengan penghinaan terhadap rakyat dengan mencabut Tap MPR dan UU tentang Referendum adalah kejahatan agar rakyat tidak dilibatkan jadi kejahatan ini harus diusut dan harus ada yang bertanggung jawab sebab kerusakan negeri ini sudah berada di titik nadir.
Penulis :Prihandoyo Kuswanto,Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Panca Sila.