Listrik Dibajak Oligarki,Pantesan Harga Token Mahal
MoneyTalk, Jakarta, Selasa (03/09) – Diskusi kritis terkait penguasaan sektor ketenagalistrikan oleh oligarki kembali mencuat dalam acara yang diadakan oleh Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP-IP) di PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTA Saguling, Jawa Barat, pada 27 Agustus 2024.
Diskusi ini diadakan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-25 PP-IP dan dihadiri oleh berbagai narasumber yang mengeksplorasi masalah privatisasi dan dampaknya terhadap PLN.
Nirmal Ilham, Tenaga Ahli DPR RI, dalam diskusi tersebut mengungkapkan bahwa PLN selama lebih dari satu dekade menghadapi tiga permasalahan fundamental: pembentukan Holding dan Sub Holding, penerapan Power Wheeling, dan transisi energi yang mengarah pada swastanisasi. “PLN sebagai BUMN sepatutnya mematuhi kebijakan pemerintah, tetapi para pekerja melihatnya sebagai sesuatu yang ‘agak lain,'” kata Nirmal.
PLN, yang memiliki 11 anak perusahaan, termasuk PT PLN Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa-Bali (PT PJB), berada di bawah ancaman privatisasi. Serikat Pekerja PLN (SP-PLN), PP-IP, dan Serikat Pekerja PJB (SP-PJB) telah menjadi ujung tombak perlawanan terhadap privatisasi ini, dengan upaya perlawanan mereka dilakukan melalui jalur hukum, yaitu melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Selama lebih dari sepuluh tahun, mereka telah mengajukan beberapa kali judicial review terhadap undang-undang yang dianggap meliberalkan sektor listrik.
Salamuddin Daeng, penulis buku *Listrik Dibajak Oligarki I dan II*, mengupas bagaimana oligarki menguasai sektor kelistrikan dari hulu hingga hilir, dengan utang besar PLN menjadi pintu masuk bagi pihak swasta untuk semakin dalam terlibat dalam bisnis kelistrikan.
“Aturan take or pay yang dipaksakan pihak swasta ke PLN di saat oversupply listrik sejak 2011 merupakan biang keladi dari rusaknya keuangan PLN,” tegas Salamuddin.
John Mempi, yang turut serta dalam diskusi, membandingkan perjuangan PP-IP di MK dengan “jihad konstitusi” Muhammadiyah, menunjukkan betapa sulitnya membatalkan undang-undang liberal yang tidak pro-rakyat.
Menurutnya, perjuangan PP-IP saat ini harus berfokus pada kembali ke UUD 45 asli, yang jika berhasil, akan secara otomatis membatalkan seluruh undang-undang liberal yang dibuat berdasarkan amandemen UUD 45.
Nirmal Ilham juga menyoroti bagaimana China menolak isi perjanjian perubahan iklim dan proposal transisi energi dunia, tetap mempertahankan kebijakan energi murah di tangan negara. “Tidak peduli apakah energi itu kotor atau bersih. Seperti tidak pedulinya Deng apakah kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus,” ujar Nirmal.
Ketua Umum PP-IP, Dwi Hantoro, dalam pidatonya menekankan pentingnya menjaga solidaritas dan jaringan dalam menghadapi tantangan ke depan. Ia berharap perjuangan PP-IP tidak menjadi cerita yang tak berujung, melainkan mampu membawa perubahan signifikan di sektor kelistrikan Indonesia. “Sebaiknya terus solid menjaga kebersamaan dan menjalin jaringan dengan pihak-pihak yang dapat berkontribusi, karena masih banyak orang-orang baik yang siap membantu,” tutup Dwi Hantoro.
Diskusi ini menegaskan kembali pentingnya peran Serikat Pekerja dalam melawan dominasi oligarki di sektor kelistrikan dan mempertahankan sektor ini sebagai milik negara demi kepentingan rakyat banyak.(c@kra)