Power Wheeling di Dalam RUU EBET Antara Ancaman dan Peluang Bagi PLN
MoneyTalk,Jakarta – Undang-Undang kelistrikan, Sesuai dengan substansi di dalam UUD 45 Pasal 33, maka sistem kelistrikan di Indonesia diatur sebagai suatu sistem yang dikuasai dan diatur oleh negara (Regulated), sebagaimana telah diatur didalam UU No.30/2009 dan PP 12/2014.
Kemudian, Model pengaturan sektor kelistrikan diatur dengan pendekatan pembagian wilayah usaha, dimana PT PLN sebgai BUMN yang seluruhnya dimiliki oleh negara menjadi pemegang kuasa usaha negara sehingga semua wilayah usaha di seluruh Indonesia menjadi wilayah usaha PLN, kecuali untuk wilayah-wilayah yang karena beberapa alasan khusus dapat dipisahkan menjadi wilayah usaha khusus yang dikelola oleh pihak-pihak selain PLN.
Didalam sistem terintegrasi ini maka factor penting yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam mendistribusikan tenaga listrik kepada seluruh warga negara adalah untuk memenuhi asas keamanan, kenyamanan, pemerataan, keadilan dan keterjangkauan. Salah satu pilar penting untuk memenuhi asas-asas tersebut adalah adanya kewenangan – kewenangan Pemerintah untuk mengatur berbagai aspek termasuk tarif listrik dan subsidi serta kompensasi yang diperlukan.
Mengingat sumberdaya listrik memerlukan biaya investasi yang sangat besar, membutuhkan beragam sumber energi primer yang tersebar dan harus menjangkau seluruh kawasan negara Indonesia yang sangat luas mengakibatkan pengaturan sektor kelistrikan menjadi tidak mudah, ditambah sekarang kita harus memenuhi komitmen untuk menurunkan emisi GRK sehingga diperlukan pengembangan pembangkit listrik yang berbasiskan EBET.
Didalam satu wilayah usaha hanya ada satu penyedia listrik sehingga atau dengan kata lain ada monopoli dalam satu wilayah usaha. Sistem monopoli secara teori memang lebih mudah untuk mengatur namun didalam sistem monopolistic juga banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang sulit untuk dihilangkan.
Salah satu kelemahan dari sistem monopoli adalah inefisiensi biaya opex maupun capex sehingga berpotensi terjadi kebocoran biaya subsidi dan kompensasi. Salah satu dampak yang kurang baik juga adalah bagaimana PLN sebagai pemegang kuasa usaha kelistrikan secara monopolistic selalu dalam keadaaan terjebak oleh pinjaman investasi yang memaksa harus mengalokasikan pasar untuk menjamin pengembalian pinjaman, sehingga mengurangi kemampuan untuk berekspansi dalam investasi-investasi baru yang diperlukan untuk tujuan transisi energi.
Di era transisi energi sekarang ini telah terjadi perubahan prilaku konsumen yang sangat significant. Pengguna listrik sebelumnya tidak pernah mempersoalkan sumber energi primer yang digunakan untuk menghasilkan listrik, namun sekarang semua orang mulai mempersoalkan apakah listriknya bersih atau kotor? Dengen demikian diferensiasi produk dan layanan melalui tingkat emisi carbon sudah menjadi atribut produk yang sangat penting.
Tuntutan akan atribut rendah emisi ini menjadi semakin kuat Ketika Masyarakat pelanggan mendapatkan persepsi bahwa listrik dari EBT sudah semakin murah. Artinya Masyarakat pelanggan saat ini minta listrik yang murah dan bersih.
Dilema EBET bagi PLN, Ketika pasar mengalami oversupply kapasitas daya listrik dengan energi fossil pada saat pasar tidak menginginkan listrik dari fossil tapi produk alternatif selain yang ditawarkan oleh PLN, maka PLN berada dalam dilema, terhimpit oleh beban masa lalu berupa kewajiban-kewajiban membayar pinjaman hutang korporasi maupun pembayaran Take or Pay pada IPP yang sudah tersusun rapi dalam berbagai rencana korporasi secara jangka panjang berhadapan dengan tuntutan untuk memenuhi permintaan energi bersih yang akan menimbulkan beban kewajiban-kewajiban baru.
sementara pasar yang akan digunakan untuk menutup kewajiban masih berasal dari pasar yang sama, UU EBET yang sedang disusun haruslah menjadi payung bagaimana PLN akan menyelesaikan dilema tersebut.
Skema power wheeling (PW) atau sewa jaringan, diharapakan skema sewa jaringan dapat menjadi solusi untuk mengatasi dilema yang dihadapi oleh PLN. Skema ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena di dalam UU Kelistrikan No.30/2009 dan PP 12/2014 sudah memberikan ruang kerjasama sehingga memungkinakan adanya pembangkit listrik termasuk EBET di suatu tempat dapat listrik ke pelanggan di tempat yang lain yang berada dalam satu kawasan wilayah usaha selama terhubung dai dalam jaringan listrik yang sama.
Konsekuensi dari skema ini adalah PLN harus melepaskan sebagian wilayah usahanya dan memberikan layanan transmisi kepada pemilik wilayah usaha.
PW menjadi ancaman juga peluang bagi usaha PLN, Memang akan ada ancaman berkurangnya pasar PLN namun juga ada peluang-peluang usaha yang terbuka bagi PLN. Mungkin karena PLN selama ini besar dari kekuatan monopoli menyebabkan lemahnya budaya kompetisi dan inovasi.
Sehingga lebih banyak peduli dengan hilangnya kepingan kecil wilayah usaha seberapa kecilnya dibandingkan lebih melihat peluang yang terbuka bagi PLN seberapapun besarnya.
Budaya ini tercermin dari sangat sedikit skema sewa jaringan telah diterapkan di PLN sejak di undangkan hingga saat ini, artinya PLN tidak melihat ini menjadi peluang yang coba disempurnakan, disosialisasikan dan diimplementasikan sehingga dari waktu ke waktu menjadi model bisnis yang semakin matang.
Seandainya model tersebut sudah menjadi model yang biasa diterapkan, mungkin hari ini tidak perlu lagi ada pasal PW di dalam UU EBET.
Power wheeling yang diusulkan di dalam UU EBET bisa jadi merupakan penegasan atas aturan yang sudah ada, namun bisa juga menjadi pintu masuk untuk menuju sistem pasar yang kompetitif. Kemana arah kebijakan selanjutnya terkait power wheeling tentu akan sangat tergantung pada seberapa mampu PLN menjawab persoalan-persoalan yang saat ini ada terkait kebutuhan pasokan listrik hijau yang murah.
PLN sebenarnya tidak ada alasan untuk khawatir dengan keberlangsungan usahanya, karena keberadaan PLN sebagai pengelola jaringan listrik tidak dapat digantikan oleh siapapun, sehingga bisnis penyewaan jaringan yang secara natural tidak ada pemain lain yang mampu menandingi kekuatan PLN dalam bisnis ini.
Power wheeling tidak boleh menjadi lubang hitam subsidi listrik, kalau power wheeling atau sewa jaringan diterapkan maka salah satu hal penting yang harus dijaga adalah jangan sampai terjadi subsidi salah sasaran. Karena di dalam sistem kelistrikan saat ini sudah direncanakan semua biaya dan pendapatan termasuk pendapatan dari subsidi dan kompensasi tariff.
Penggunaan jaringan PLN untuk pihak lain dengan model pw sudah pasti akan menaikan biaya operasi PLN seperti biaya untuk menjaga kehandalan operasi sistem, biaya investasi jaringan, biaya losses dll, serta juga menurunkan pendapatan PLN karena turunnya jumlah pelanggan, kalau kompensasi atau tarif sewa jaringan tersebut tidak dihitung dengan cermat maka pasti akan mempengaruhi nilai subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung oleh pemerintah sekaligus ketidak adilan karena subsidi tidak mengalir ke pihak yang berhak secara hukum.
Dengan demikain terkait power wheeling kalau akan diterapkan haruslah dengan catatan-catatan yang memagari agar masih dalam koridor UU yang ada, artinya tidak mengarah ke pembentukan pasar multi buyer multi seller, tidak menimbulkan ketidakadilan atau pelanggaran perundang-undangan terkait subsidi listrik dan direncanakan secara harmonis dengan RUPTL pemerintah.
PLN juga perlu lebih terbuka untuk menjalin kerjasama dengan pihak manapun yang memenuhi syarat untuk bekerjasama dalam upaya percepatan Pembangunan energi bersih yang terjangkau demi masa depan bangsa dan negara Indonesia serta planet bumi.
Ridwan Hanafi
Koordinator Daulat Energy