Miris…Anggaran Pendidikan di Bawah 20%
MoneyTalk, Jakarta – Ekonom Awalil Rizky, melalui kanal YouTube-nya pada Minggu (08/09), memberikan analisis mendalam terkait isu pengelolaan anggaran pendidikan di Indonesia. Topik ini menjadi pembicaraan hangat setelah Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyampaikan di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa ada usulan untuk mengubah komponen perhitungan anggaran pendidikan. Usulan tersebut menimbulkan kontroversi karena dianggap menentang Undang-Undang Dasar 1945, yang mengamanatkan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sri Mulyani Usulkan Perubahan Perhitungan
Pada Rabu lalu, Sri Mulyani menyarankan agar alokasi anggaran pendidikan dihitung berdasarkan pendapatan negara, bukan belanja negara. Selama ini, pengalokasian 20% anggaran pendidikan dihitung dari total belanja negara, termasuk gaji guru, yang kemudian menimbulkan perdebatan. Sri Mulyani beralasan bahwa perhitungan ini kurang stabil dan sering kali memaksa pemerintah untuk mengutak-atik anggaran agar tetap memenuhi persentase tersebut.
Namun, perubahan ini dinilai melanggar amanat UUD 1945, pasal 31 ayat 4, yang menyatakan bahwa negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. “Ini tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya,” ungkap Awalil.
Realisasi Anggaran Pendidikan di Bawah 20%
Awalil Rizky juga menyoroti bahwa dalam beberapa tahun terakhir, realisasi anggaran pendidikan sering kali berada di bawah 20% dari APBN. Meskipun dalam perencanaannya tercatat memenuhi 20%, dalam pelaksanaannya, alokasi tersebut tidak tercapai.
“Sejak 2019, realisasi anggaran pendidikan selalu di bawah 20%. Bahkan pada 2022, hanya tercapai 16,45% dari total belanja negara,” kata Awalil. Ia menambahkan bahwa masalah ini muncul karena alokasi anggaran tidak hanya didistribusikan untuk belanja pemerintah pusat, tetapi juga transfer ke daerah dan pembiayaan.
Dalam anggaran 2025 yang sedang dibahas, anggaran pendidikan sebesar Rp722,6 triliun, terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp296 triliun, transfer ke daerah Rp347 triliun, dan pembiayaan sebesar Rp87 triliun. Namun, dari angka pembiayaan tersebut, sebanyak Rp55 triliun bersifat cadangan, sehingga belum jelas alokasinya untuk apa.
Efektivitas Penggunaan Anggaran
Awalil menekankan bahwa permasalahan utama bukan hanya soal terpenuhinya 20%, tetapi juga efektivitas penggunaan anggaran. Banyak anggaran yang tidak terealisasi dengan baik, terutama di belanja pemerintah pusat. “Realisasi belanja untuk Kementerian dan Lembaga tidak optimal. Sering kali, anggaran yang dialokasikan untuk belanja tidak terserap sepenuhnya, terutama di sektor pendidikan,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti bahwa transfer ke daerah, seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), lebih sering terealisasi dengan baik. Namun, belanja pemerintah pusat sering kali tidak mencapai target. Misalnya, anggaran yang diusulkan sebesar Rp249 triliun hanya terealisasi Rp187 triliun.
Pertanggungjawaban Pemerintah dan DPR
Awalil Rizky menegaskan bahwa pemerintah perlu memberikan penjelasan lebih mendetail terkait realisasi anggaran pendidikan yang terus berada di bawah 20%. “DPR seharusnya lebih bersuara dalam masalah ini. Ini bukan hanya soal teknis anggaran, tetapi sudah menyangkut pelanggaran konstitusi jika tidak dipenuhi,” ujar Awalil.
Ia berharap pemerintah lebih transparan dan konsisten dalam penyusunan serta realisasi anggaran pendidikan. “Jangan hanya mencari alasan atau ‘ngeles’ ketika realisasinya tidak mencapai target. Ini masalah serius yang perlu segera diatasi,” tutupnya.
Awalil Rizky menggarisbawahi bahwa perubahan perhitungan anggaran pendidikan dari belanja menjadi pendapatan tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang pertanggungjawaban pemerintah. Realisasi anggaran pendidikan yang terus di bawah 20% menunjukkan perlunya perbaikan dalam pengelolaan APBN agar sesuai dengan amanat UUD 1945.(c@kra)