Power Wheeling dan Tiga Agenda Membuat PLN Menjadi Hantu
MoneyTalk, Jakarta – Dalam laporan terbaru Senin (09/09), Salamuddin Daeng mengungkapkan kekhawatirannya terkait kebijakan power wheeling yang tengah diusulkan untuk dimasukkan ke dalam UU Energi Baru Terbaharukan (EBT). Meskipun menghadapi penolakan keras dari organisasi pegawai PLN, DPR dan pemerintah tampaknya tetap berkomitmen untuk meloloskan regulasi ini, yang dapat mengubah lanskap ketenagalistrikan Indonesia secara signifikan.
Power wheeling adalah kebijakan yang memungkinkan pihak swasta untuk menguasai jaringan listrik yang saat ini dikelola sepenuhnya oleh PLN. Dengan regulasi ini, swasta akan memiliki keleluasaan untuk menjual listrik yang mereka hasilkan langsung kepada konsumen, tanpa melalui PLN. Tujuannya adalah untuk mendorong investasi dalam sektor energi baru terbarukan (EBT), namun hal ini berpotensi menguntungkan swasta secara substansial.
Menurut Salamuddin Daeng, UU ini akan sangat menguntungkan pihak swasta, terutama setelah swasta sebelumnya telah menguasai sebagian besar pembangkit listrik, sebagian besar berbasis batubara. Program fast track (jalur cepat) 2×10 ribu MW dan program unggulan pemerintahan Jokowi 35 ribu MW telah menghasilkan produksi listrik melimpah yang dibeli PLN melalui skema take or pay. Namun, penjualan listrik tersebut hanya mencapai sebagian kecil dari produksi.
Saat ini, pemerintah Indonesia menghadapi tekanan dari komunitas internasional untuk melakukan transisi energi, dengan janji dukungan anggaran sebesar 20 miliar dolar AS. Meskipun demikian, banyak lembaga internasional yang siap membiayai transisi ini menyatakan bahwa investasi dalam pengembangan EBT hanya akan terjadi jika jaringan listrik diserahkan kepada swasta. Hal ini dikarenakan biaya pembangunan jaringan listrik yang sangat tinggi, sehingga swasta cenderung memilih menggunakan infrastruktur yang sudah ada.
Salamuddin Daeng menggunakan analogi tubuh manusia untuk menggambarkan dampak dari power wheeling terhadap PLN. Jika PLN diibaratkan sebagai tubuh manusia, maka pembangkit listrik berfungsi sebagai jantung yang memompa energi (darah) ke seluruh tubuh melalui jaringan PLN.
Dengan diterapkannya power wheeling, jaringan listrik PLN akan terpisah dari pembangkit dan badan PLN itu sendiri. Akibatnya, PLN akan kehilangan integritas dan fungsionalitasnya, seolah-olah menjadi “mahluk” tanpa darah, yang sulit dibayangkan dalam konteks fungsionalitasnya.
Agenda kedua yang dihadapi PLN adalah pemisahan internal melalui pembentukan holding dan sub-holding. Sebelumnya, PLN mengelola seluruh rantai pasokan energi, dari produksi energi primer, pembangkit, jaringan, hingga ritel. Namun, dengan pembentukan holding dan sub-holding, PLN akan terpecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.
Setiap bagian akan beroperasi secara mandiri untuk mencari keuntungan, membuat PLN menjadi entitas yang terpecah-pecah dengan fungsi yang tidak terintegrasi. “Kepala”, “jantung”, dan “urat darah” PLN akan beroperasi secara terpisah, sehingga mengubah PLN menjadi entitas yang terfragmentasi.
Agenda ketiga adalah penghentian operasi pembangkit batubara PLN. Pembangkit-pembangkit besar seperti Pembangkit Suralaya dan Pelabuhan Ratu, serta 13 pembangkit batubara (PLTU) lainnya, direncanakan untuk dihentikan. Isu polusi udara dan pencemaran lingkungan menjadi alasan utama untuk kebijakan ini.
Pembangkit batubara PLN, yang dianggap sebagai sumber pencemaran lingkungan utama, menjadi target untuk dihentikan operasinya. Dalam konteks ini, pembangkit batubara swasta, meskipun terus berkembang, tidak menjadi fokus utama dalam kebijakan ini.
Dengan pemotongan “aliran darah” PLN melalui power wheeling, penyuntikan mati terhadap pembangkit batubara PLN menjadi lebih mudah dilaksanakan. Propaganda yang menggambarkan pembangkit batubara PLN sebagai “hantu” yang membahayakan kesehatan manusia membuat kebijakan ini tampak sebagai langkah yang tepat. Namun, hal ini juga membuka jalan bagi swasta untuk menguasai produksi listrik nasional lebih lanjut.
Kebijakan power wheeling, pemisahan internal PLN melalui holding dan sub-holding, serta penghentian operasi pembangkit batubara PLN dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap sektor ketenagalistrikan Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini tampaknya dirancang untuk memberikan keuntungan maksimal bagi pihak swasta dengan meruntuhkan struktur PLN yang ada.
Meskipun langkah-langkah ini mungkin dilatarbelakangi oleh tujuan transisi energi dan investasi, dampaknya terhadap PLN dan integritas sektor ketenagalistrikan harus menjadi perhatian serius. PLN berpotensi kehilangan fungsinya sebagai entitas yang utuh dan efektif dalam memenuhi kebutuhan energi nasional jika perubahan ini tidak dikelola dengan hati-hati.(c@kra)