OOH PLN, Telah diubah menjadi lahan investasi swasta yang mencari keuntungan
MoneyTalk, Jakarta – Ahmad Daryoko, Koordinator INVEST, dalam pernyataannya menirukan ucapan Dahlan Iskan pada Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2010 terkait Judicial Review (JR) UU No. 30/2009, menyampaikan bahwa “Untuk mengelola PLN, baik ada UU maupun tidak, sama saja.” Pernyataan ini merujuk pada kondisi PLN yang dinilai telah mengalami liberalisasi, terlepas dari regulasi hukum yang berlaku.
Namun, apakah pernyataan ini benar adanya? Untuk memahami masalah ini, kita harus melihat kembali perjalanan PLN sebagai perusahaan milik negara yang memiliki peran penting dalam sektor kelistrikan nasional.
Legitimasi PLN sebagai Perusahaan Listrik Negara, PLN memiliki dasar hukum yang kuat sejak didirikan pada 27 Oktober 1945 sebagai Perusahaan Jawatan Listrik Negara, hasil nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik Belanda, seperti NV. Ogem, Aniem, Gebeo, Ebalom, NIGMN, dan lainnya.
Dasar legalitas PLN semakin kuat ketika pada Sidang Judicial Review (JR) Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003, yang diputuskan pada 15 Desember 2004, MK menegaskan bahwa keberadaan PLN berlandaskan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.
Pasal ini menyatakan bahwa “Cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” PLN, sebagai pengelola listrik negara, bertanggung jawab menyediakan kebutuhan listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam perkembangannya, UU No. 15/1985 tentang Ketenagalistrikan mengukuhkan PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK). Namun, pada era tersebut, pemerintah mulai membuka sektor kelistrikan bagi investor asing dan swasta nasional, yang sering kali terafiliasi dengan keluarga pejabat.
Pada 1994, status PLN berubah melalui PP No. 23/1994, yang mengalihkan PLN dari Perusahaan Umum (PERUM) menjadi Perseroan Terbatas (PT PLN Persero). Lahirnya UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan semakin mendorong perubahan besar, seperti unbundling (pemecahan) sektor kelistrikan, baik secara vertikal maupun horizontal. Ini membuka jalan bagi liberalisasi kelistrikan melalui mekanisme seperti Power Wheeling dan Multi Buyer and Multi Seller (MBMS), yang pada intinya memperbolehkan lebih dari satu entitas untuk menjual listrik kepada konsumen.
Penolakan terhadap Liberalisasi, dan dilakukan Judicial Review terhadap UU No. 20/2002. Namun Liberalisasi ini mendapat perlawanan dari Serikat Pekerja PLN (SP PLN). Pada tahun 2003, mereka mengajukan Judicial Review terhadap UU No. 20/2002 ke Mahkamah Konstitusi. MK kemudian memutuskan untuk membatalkan total UU tersebut, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, yang mewajibkan cabang produksi penting untuk dikuasai negara.
Namun, meskipun MK telah membatalkan UU No. 20/2002 pada 15 Desember 2004, langkah-langkah liberalisasi di sektor kelistrikan tidak berhenti di situ. Wakil Presiden Jusuf Kalla memanggil Direksi PLN dan menuduh mereka memihak Serikat Pekerja PLN. JK kemudian menginstruksikan agar RUU baru disusun, yang pada intinya tidak berbeda jauh dengan UU No. 20/2002. Inilah yang kemudian melahirkan UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan.
UU No. 30/2009 dan Pengulangan Masalah. Pada 23 September 2009, UU No. 30/2009 disahkan. Namun, seperti halnya UU No. 20/2002, UU No. 30/2009 juga mendapat tentangan, khususnya terkait pasal-pasal yang mendukung liberalisasi sektor kelistrikan. MK akhirnya kembali membatalkan sebagian pasal-pasal dari UU ini, terutama yang mendukung unbundling dan liberalisasi kelistrikan.
Secara hukum, liberalisasi kelistrikan di Indonesia sebenarnya telah dilarang oleh MK. Namun, faktanya, liberalisasi tetap berjalan di bawah pengawasan berbagai oknum petinggi negara. Beberapa oknum di lembaga kepresidenan, Kementerian BUMN, dan Direksi PLN justru mendukung berdirinya pembangkit listrik swasta, atau Independent Power Producer (IPP), dan penjualan jaringan ritel PLN Jawa-Bali kepada konglomerat, seperti Tommy Winata dan Aguan. Mereka juga memaksakan mekanisme jual beli listrik melalui Power Wheeling System, yang jelas-jelas melanggar konstitusi.
Akibatnya, masyarakat luas harus menanggung biaya listrik yang semakin mahal, meskipun pemerintah telah memberikan subsidi. Ironisnya, subsidi yang dimaksud justru menutupi kerugian yang timbul dari liberalisasi yang dijalankan tanpa dasar hukum.
“Untuk Mengelola PLN, Baik Ada UU Maupun Tidak, Sama Saja”
Pernyataan Dahlan Iskan, yang diungkapkan kembali oleh Ahmad Daryoko, menyoroti kenyataan pahit bahwa meskipun liberalisasi kelistrikan bertentangan dengan undang-undang, proses ini tetap berjalan. UU yang melarang liberalisasi ada, tetapi tidak diimplementasikan. Hal ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan dan kepentingan ekonomi segelintir pihak dapat mengesampingkan aturan yang seharusnya melindungi kepentingan publik.
PLN, sebagai perusahaan negara yang harusnya dikelola untuk kepentingan rakyat, telah diubah menjadi lahan investasi swasta yang mencari keuntungan sebesar-besarnya, dengan mengorbankan rakyat sebagai konsumen utama. Dalam konteks ini, benar adanya bahwa “untuk mengelola PLN, baik ada UU maupun tidak, sama saja” — yang mengelola bukanlah hukum, melainkan kekuatan kapital yang didukung oleh pejabat negara.
Tindakan Hukum yang Mendesak. Atau bikin Diskusi, seminar, dan berbagai forum lainnya terkait pengelolaan PLN sangat penting untuk memperdalam pemahaman publik tentang permasalahan ini. Namun, yang lebih penting dan mendesak adalah tindakan hukum terhadap pelanggaran konstitusi yang terjadi. Pelanggaran terhadap Putusan MK, baik pada 2004 maupun pada 2014, harus diusut dan ditindak secara tegas.
Jika pelanggaran ini terus dibiarkan, maka kepentingan rakyat yang tergantung pada sektor kelistrikan akan terus terpinggirkan. Sementara itu, liberalisasi yang tidak berpihak pada rakyat terus berlangsung, memaksakan tarif listrik yang tinggi dan membebani masyarakat luas. Ini bukan hanya soal PLN, tetapi soal kedaulatan energi nasional yang terancam oleh kepentingan kapitalis.(c@kra)