Para Ulama dan Seluruh Kekuatan Sosial Aceh Harus Serius Lawan Narkoba
MoneyTalk, Jakarta – Perang terhadap narkoba bukan hanya persoalan hukum, melainkan juga masalah moral dan sosial yang mendesak. Pernyataan tegas dari Kombes Pol. Marthinus Hukom, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Indonesia, dalam program Zulfan Lindan Unpacking Indonesia. Kegiatan ini menyoroti bahwa narkoba kini telah menyusup ke berbagai lini masyarakat, termasuk komunitas nelayan, pekerja perkebunan, dan bahkan anak-anak. Fenomena ini menggambarkan betapa kuatnya jejaring sosial dan ekonomi yang dibangun oleh para pengedar narkoba, yang menjadikan masalah ini lebih kompleks dan berbahaya.
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang rentan terhadap penyebaran narkoba. Hal ini disebabkan oleh letak geografis yang strategis, yang sering kali dijadikan jalur transit bagi perdagangan narkoba internasional. Wilayah pesisir Aceh menjadi pintu masuk bagi penyelundupan barang-barang terlarang dari luar negeri. Dalam konteks ini, tantangan yang dihadapi Aceh dalam memerangi narkoba sangatlah besar, dan memerlukan upaya serius dari semua elemen masyarakat. Marthinus Hukom menegaskan bahwa pemberantasan narkoba di Aceh tidak bisa hanya mengandalkan aparat hukum.
“Kita perlu dukungan publik, dukungan masyarakat, dukungan tokoh-tokoh atau organisasi-organisasi yang berperan untuk membangun ketahanan moral generasi muda kita,” tegasnya.
Sebagai provinsi yang dikenal kental dengan nilai-nilai keagamaan, Aceh memiliki kekuatan sosial yang unik. Para ulama, sebagai pemimpin agama dan moral, memiliki pengaruh besar dalam membimbing masyarakat, khususnya generasi muda. Oleh karena itu, keterlibatan para ulama dalam perang melawan narkoba sangatlah krusial. Ulama memiliki otoritas moral yang dapat menggerakkan masyarakat untuk menjauhi bahaya narkoba, serta membentuk norma-norma sosial yang menolak segala bentuk penyalahgunaan narkotika.
Di banyak kesempatan, para ulama telah menunjukkan peran strategis dalam memerangi berbagai permasalahan sosial di Aceh. Kini, saatnya mereka memusatkan perhatian pada masalah narkoba yang semakin menggerogoti moral masyarakat. Fatwa yang jelas, pengajaran agama yang tegas, dan sosialisasi mengenai bahaya narkoba di mimbar-mimbar agama dapat menjadi benteng moral yang kuat dalam menghadapi ancaman ini.
Tidak hanya ulama, tetapi juga seluruh kekuatan sosial Aceh harus bersatu padu melawan ancaman narkoba. Kekuatan sosial ini mencakup organisasi-organisasi masyarakat, tokoh-tokoh adat, lembaga pendidikan, dan komunitas-komunitas lokal yang berperan dalam kehidupan sehari-hari. Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan elemen sosial masyarakat sangat penting untuk mengatasi peredaran narkoba yang semakin canggih dan terstruktur.
Sebagaimana disampaikan oleh Marthinus Hukom, mafia narkoba memiliki jaringan yang kuat, yang tidak hanya melibatkan pengedar di level bawah, tetapi juga elit sosial dan politik. Mereka memanfaatkan berbagai struktur sosial untuk menyebarkan bisnis haram ini. Maka dari itu, gerakan masyarakat harus solid dan memiliki strategi yang jelas dalam menghadapi jaringan-jaringan tersebut.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden terpilih Prabowo Subianto telah menyatakan komitmennya untuk memberantas narkoba hingga tuntas. Ini memberikan sinyal kuat bahwa ada kemauan politik yang besar untuk memerangi narkoba di tingkat nasional. Namun, dukungan politik saja tidak cukup. Diperlukan tindakan nyata dari pemerintah daerah, terutama di Aceh, untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan narkoba.
Pemerintah Aceh harus lebih proaktif dalam menciptakan kebijakan yang mendukung pemberantasan narkoba, serta menyediakan sumber daya yang memadai untuk program-program rehabilitasi. Sebagai langkah pencegahan, pendidikan anti-narkoba harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah, agar generasi muda Aceh memiliki pemahaman yang kuat mengenai bahaya narkoba sejak dini.
Tidak kalah pentingnya adalah penanganan para korban narkoba. Mereka tidak boleh dipandang sebagai penjahat, melainkan sebagai korban yang membutuhkan bantuan. Pemerintah dan masyarakat harus menyediakan fasilitas rehabilitasi yang memadai bagi mereka yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika. Selain itu, diperlukan pendekatan yang lebih humanis dalam menangani pengguna narkoba, dengan fokus pada pemulihan dan reintegrasi ke dalam masyarakat.
Para ulama dan tokoh masyarakat dapat memainkan peran kunci dalam proses rehabilitasi ini, dengan memberikan bimbingan spiritual dan moral yang dapat membantu para korban untuk bangkit kembali. Pendekatan yang melibatkan agama dan nilai-nilai moral diyakini akan lebih efektif dalam memulihkan para pengguna narkoba di Aceh, yang terkenal religius.
Perang melawan narkoba di Aceh membutuhkan keseriusan dari seluruh elemen masyarakat, terutama para ulama dan kekuatan sosial lokal. Dengan latar belakang Aceh yang religius dan kekuatan sosial yang solid, perang melawan narkoba bisa dimenangkan dengan kolaborasi yang baik antara masyarakat, pemerintah, dan tokoh agama. Keberhasilan ini tidak hanya akan melindungi generasi muda dari kehancuran, tetapi juga menjaga integritas moral dan sosial masyarakat Aceh. Narkoba bukan sekadar masalah hukum, melainkan masalah moral dan sosial yang harus diatasi bersama-sama.(c@kra)