MoneyTalk, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dalam wawancaranya di Podcast Antara On The Record pada Kamis (14/11), memberikan pandangan komprehensif mengenai penanganan kasus narkotika di Indonesia dan peran pendekatan restoratif dalam sistem hukum kita.
Yusril mengungkapkan pandangannya terkait kebijakan terhadap pengguna narkotika dan upaya merespons penuh sesaknya lembaga pemasyarakatan akibat tingginya kasus narkotika. Yusril juga menyoroti pentingnya reformasi hukum yang memperhatikan kearifan lokal dan keadilan restoratif.
Menurut Yusril, dalam konteks hukum pidana Indonesia, baik pengedar maupun pengguna narkotika sama-sama dikenakan sanksi pidana. Namun, ia menyoroti bahwa banyak negara lain memperlakukan pengguna narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan. Di negara-negara seperti Belanda, pengguna narkotika dapat melakukan pembelian di tempat yang sudah diatur khusus dan terdaftar. Namun, Yusril juga menekankan bahwa regulasi di Belanda juga bukan berarti pengguna bisa bebas membeli ganja di sembarang tempat.
Yusril menjelaskan, meskipun ada gagasan untuk merehabilitasi pengguna narkotika sebagai korban, penerapannya di Indonesia penuh tantangan. Negara dengan populasi sebesar Indonesia menghadapi hambatan dalam merehabilitasi semua pengguna.
Hal tersebut memerlukan pendekatan yang hati-hati, karena beban lembaga pemasyarakatan di Indonesia sebagian besar diisi oleh kasus-kasus narkotika. Ia memperkirakan, meskipun pemerintah membangun lebih banyak lembaga pemasyarakatan, kapasitasnya tetap akan kewalahan menampung para pelaku kasus narkotika.
Selain itu, Yusril juga berbicara mengenai konsep keadilan restoratif yang menekankan pada pemulihan kondisi korban dan pelaku melalui penyelesaian damai, terutama untuk tindak kejahatan tertentu. Ia memberikan contoh dalam kasus pencurian kecil-kecilan atau kenakalan remaja yang dapat diselesaikan melalui kesepakatan damai tanpa harus sampai ke meja hijau. Pendekatan ini memberikan kesempatan bagi pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya tanpa harus merasakan dampak negatif dari penjara yang kerap memperburuk situasi individu.
Yusril juga menyinggung mengenai peran hukum adat dan hukum Islam dalam konsep penyelesaian damai, terutama dalam konteks seperti perang suku di Papua yang tidak bisa diselesaikan melalui KUHP. Pendekatan ini, menurutnya, memiliki sisi positif dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan suku atau kelompok besar, yang selama ini lebih mengandalkan keadilan berbasis adat dan hukum Islam, bukan hukum pidana konvensional.
Yusril menyatakan pentingnya reformasi dalam sistem hukum Indonesia agar sesuai dengan nilai-nilai lokal dan kebutuhan masyarakat. Indonesia sudah menantikan KUHP baru yang dirancang untuk lebih mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial. Reformasi ini diharapkan bisa memberikan kepastian hukum yang lebih baik bagi masyarakat, terutama dalam bidang agraria dan investasi. Yusril menyoroti konflik tanah yang seringkali menjadi hambatan besar bagi investor asing yang hendak berinvestasi di Indonesia.
Menurutnya, banyak konflik agraria yang belum terselesaikan membuat investor asing enggan menanamkan modal. Selain itu, ia menyoroti pentingnya membatasi kepemilikan tanah yang luas oleh pihak-pihak tertentu sehingga masyarakat memiliki akses yang lebih adil terhadap lahan pertanian.(c@kra)