Pancasila dalam Perspektif Kejawen, Sebuah Harmoni Filosofis
MoneyTalk, Jakarta – Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah sebuah landasan fundamental yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam beberapa perspektif tradisional, seperti dalam ajaran Kejawen, Pancasila dipahami tidak hanya sebagai ideologi negara, tetapi juga sebagai bagian integral dari nilai-nilai dan filosofi yang telah lama ada dalam budaya Jawa. Perspektif ini diungkapkan dengan jelas oleh Rama Aditya dalam sebuah tayangan di kanal Kawruhana pada 26 September, di mana ia menjelaskan bagaimana Pancasila dan ajaran Kejawen saling melengkapi satu sama lain.
Pancasila dan Ajaran Jawa, Kesatuan yang Tak Terpisahkan
Menurut Rama Aditya, Pancasila dan ajaran Kejawen tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya mengandung nilai-nilai yang saling berkaitan. Dalam ajaran Jawa, filosofi kehidupan yang dikenal sebagai “memayu hayuning bawono” (merawat dan memperindah dunia) menjadi inti dari bagaimana orang Jawa melihat dan menjalani kehidupan. Nilai-nilai ini juga dapat ditemukan dalam Pancasila, yang secara eksplisit mengajarkan kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Rama Aditya menegaskan bahwa dalam ajaran Jawa, ada konsep-konsep yang mirip dengan sila-sila dalam Pancasila. Misalnya, konsep “sedulur papat lima pancer” yang secara harfiah merujuk pada hubungan antara diri seseorang dengan empat elemen utama—tubuh, roh, nafsu, dan jiwa—serta pusat dari kesadaran manusia. Dalam Pancasila, empat sila pertama juga dihubungkan dengan nilai-nilai esensial dari kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial, sementara sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, bertindak sebagai pusat dari keseluruhan ideologi. Rama Aditya menggambarkan ini dengan menggunakan analogi piramida, di mana empat sisi dasar piramida mewakili empat sila yang mendukung sila pertama sebagai puncak.
Pancasila dan Kemanusiaan, Sila yang Hidup dalam Laku Kejawen
Dalam Kejawen, nilai kemanusiaan sangat dijunjung tinggi. Prinsip “memayu hayuning sesama” mengajarkan bagaimana setiap individu harus memperlakukan sesama dengan rasa hormat dan keadilan, yang selaras dengan sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Rama Aditya menjelaskan bahwa menjadi manusia yang sejati berarti tidak hanya menghormati sesama manusia, tetapi juga makhluk hidup lain, seperti tumbuhan dan hewan. Hal ini mencerminkan ajaran Kejawen bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang harus menjaga keharmonisan dengan semua ciptaan Tuhan.
Adanya penghayatan yang dalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan ini juga sejalan dengan bagaimana Kejawen memandang kehidupan sosial. Prinsip gotong royong, yang dikenal sebagai bagian dari budaya Jawa, selaras dengan Sila Kelima Pancasila, yang menekankan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam praktik Kejawen, gotong royong bukan hanya tindakan sosial, tetapi juga menjadi bagian dari lelaku spiritual untuk menciptakan keharmonisan di dalam masyarakat.
Sedulur Papat Lima Pancer dan Pancasila, Kaitan yang Mendalam
Rama Aditya juga menyoroti hubungan antara konsep “Sedulur Papat Lima Pancer” dalam ajaran Kejawen dengan Pancasila. Sedulur papat menggambarkan empat elemen utama yang mendasari kehidupan manusia, sedangkan “pancer” adalah pusat kesadaran yang menghubungkan semua elemen tersebut. Hal ini analog dengan Pancasila, di mana empat sila pertama—Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, dan Keadilan Sosial—merupakan landasan yang mendukung Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pusat atau pancer dari ideologi bangsa.
Melalui analogi ini, Rama Aditya menunjukkan bahwa filosofi Jawa telah lama mengajarkan prinsip-prinsip yang juga tercermin dalam Pancasila. Sedulur papat adalah representasi dari aspek-aspek kehidupan manusia yang tidak bisa dipisahkan dari kesadaran spiritual, sementara lima pancer melambangkan pusat dari segala sesuatu yang, dalam konteks Pancasila, adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tantangan Tafsir Pancasila dan Ajaran Jawa, meskipun Pancasila telah menjadi ideologi negara sejak Indonesia merdeka, Rama Aditya mengakui bahwa masih ada banyak tafsir yang berbeda terkait dengan implementasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, interpretasi yang berbeda ini, baik dalam konteks budaya maupun politik, dapat mengaburkan makna asli dari Pancasila. Ini menjadi tantangan besar, terutama bagi generasi muda yang terkadang belum memahami sepenuhnya esensi dari Pancasila.
Dalam konteks Kejawen, penghayatan terhadap Pancasila tidak berhenti pada pemahaman teoretis, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata atau “lelaku”. Penghayat kepercayaan seperti komunitas Satya Bimputra, yang disebut oleh Rama Aditya, tidak hanya membaca Pancasila, tetapi juga berupaya mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Ini mencerminkan pentingnya menghidupkan nilai-nilai Pancasila tidak hanya sebagai ideologi negara, tetapi juga sebagai panduan etis dan spiritual.
Sebuah Tantangan dan Harapan
Salah satu poin penting yang ditekankan oleh Rama Aditya adalah bagaimana Pancasila mampu menjadi perekat di tengah keberagaman yang ada di Indonesia. Dalam ajaran Kejawen, keberagaman dipandang sebagai kekayaan yang harus dihargai dan dijaga. Konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”, juga tercermin dalam filosofi Kejawen, di mana setiap elemen kehidupan saling melengkapi dan menciptakan harmoni.
Namun, keberagaman ini juga menimbulkan tantangan. Menurut Rama Aditya, Indonesia sebagai bangsa yang multikultural harus mampu menyeimbangkan identitas kedaerahan dengan identitas nasional. Dalam ajaran Kejawen, ada saat di mana seseorang harus mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari suku tertentu, tetapi ada juga saat di mana identitas tersebut harus diselaraskan dengan identitas sebagai warga negara Indonesia. Ini adalah tantangan yang dihadapi oleh setiap warga negara dalam menjaga persatuan di tengah keberagaman.
Pancasila sebagai Jembatan Filosofis
Pancasila dalam perspektif Kejawen dipandang sebagai jembatan yang menghubungkan nilai-nilai lokal dengan nasional. Dalam ajaran Kejawen, nilai-nilai Pancasila sudah lama ada dan diamalkan melalui berbagai prinsip kehidupan seperti memayu hayuning bawono, gotong royong, dan sedulur papat lima pancer. Dengan demikian, Pancasila bukan hanya ideologi negara, tetapi juga filosofi kehidupan yang hidup di dalam budaya Jawa.
harapan bahwa nilai-nilai Pancasila dan ajaran Kejawen dapat terus dijaga dan diamalkan oleh generasi muda. Dengan demikian, harmoni antara keberagaman dan persatuan dapat terus terjalin, membawa bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.